gambut, permasalahan gambut diindonesia, sifat gambut

PERMASALAHAN LAHAN GAMBUT DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Hingga kini pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian masih pro dan kontra antara berbagai pihak, walaupun dari pemanfaatan yang telah dilakukan belum nyata memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu kesepakatan yang mendasar tentang pemahaman dari kata “pemanfaatan”. Dalam beberapa kali seminar/workshop/symposium gambut terutama di luar negeri, telah disepakati bahwa “membiarkan lahan gambut untuk habitat flora/fauna” merupakan salah satu “pemanfaatan gambut secara bijaksana” (Wise Use of Peatland). Kesepakatan tersebut dipertegaskan kembali pada “International Symposium and Workshop and National Seminar” on Restoration and Wise use of Tropical Peatland : Problems of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management, 20-24 September 2005 di Palangka Raya-Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, hendaknya mulai pada saat ini para ilmuwan dan penentu kebijakan di Indonesia tidak lagi berpandangan bahwa “pemanfaatan gambut” harus dimulai dari pembukaan lahan (tebas/tebang) hingga penanaman komoditi tertentu.
Berdasarkan fakta di lapangan, pembukaan hutan rawa gambut untuk pertanian, ternyata masih lebih dominan menimbulkan masalah lingkungan dan menyulitkan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pengalihan fungsi hutan rawa gambut pasti akan diikuti dengan perubahan ekosistem yang sangat cepat dan ditandai dengan meningkatnya intensitas malapetaka bagi manusia. Akibat kekeliruan teknologi pemanfaatan dan pemaksaan terhadap karakteristik gambut, Proyek PLG sejuta hektar yang semula dicanangkan sebagai sentra penghasil beras, justru berubah menjadi penghasil asap. Oleh karena itu, keinginan pihak tertentu yang ditunggangi kepentingan politik hendaknya dijauhkan, karena malapetaka seperti kabut asap tebal yang terjadi antara 1-4 bulan tiap tahun di Kalimantan Tengah khususnya, tidak dapat dipolitisir atau disulap seperti seorang manusia untuk menjadi seorang pejabat.

PERMASALAHAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI INDONESIA
Gambut untuk pertanian biaya tinggi
Menurut Limin (1998) efek residu bahan yang diberikan kedalam gambut sangat singkat. Pada percobaan pemberian dolomit, fosfat dan kotoran ayam, cabe yang ditanam pada sekuens ke-4 (22 bulan setelah aplikasi ketiga bahan tersebut), seluruhnya mati serentak dan diawali dengan warna kuning merata. Hasil yang diperoleh pada sekuens ke-2 dan ke-3, selalu menurun dibandingkan sekuens pertama.
Berdasarkan hasil penelitian Jentha (2003) di Kalampangan Kalimantan Tengah, diketahui bahwa untuk menumbuhkan beberapa jenis tanaman agar dapat menghasilkan, diperlukan pemberian abu tiap kali tanam dalam jumlah banyak, yaitu jagung (Zea mays) 16,09 ton/ha, seledri (Apium graveolen) 117,29 ton/ha, bayam (Amaranthus sp) 93,72 ton/ha, sawi (Brassica juncea) 18,17 ton/ha dan kangkung (Ipomoea batatas) 43,18 ton/ha.
Kebakaran gambut akibat kekeliruan pemanfaatan
Kebakaran lahan gambut lebih berbahaya dibandingkan kebakaran pada lahan kering (tanah mineral). Selain kebakaran vegetasi di permukaan, lapisan gambut juga terbakar dan bertahan lama, sehingga menghasilkan asap tebal akibat terjadi pembakaran tak-sempurna. Limin et al. (2003) menyatakan bahwa kedalaman lapisan gambut terbakar rata-rata 22.03 cm (variasi antara 0 – 42.3 cm) namun pada titik tertentu lapisan dapat terbakar mencapai 100 cm. Oleh karena itu pemadaman kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dan memerlukan banyak air. Pengalaman TSA sejak 1997, Limin et al. (2003) melaporkan bahwa untuk memadam total seluas 1m2 lahan gambut diperlukan air sebanyak 200 – 400 liter sebagai pengaruh dari kerapatan limbak gambut. Dilaporkan pula bahwa ada 9 ciri kebakaran pada lahan gambut berlangsung cepat dan mudah dipadamkan, yaitu : (i) kebakaran vegetasi di atas lapisan gambut, (ii) lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah, (iii) kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama, (iv) kebakaran menghasilkan asap tebal karena terjadi pembakaran tak sempurna, (v) api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya belum terbakar atau masih segar, (vi) banyak pohon tumbang dan pohon mati tapi masih berdiri tegak, (vii) terdapat jenis vegetasi mudah terbakar (viii) bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan (ix) penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal.
Data kebakaran lahan gambut yang diketahui pada kebakaran 1997 dan 2002 di eks PLG dan sekitarnya, paling sedikit seperti yang disajikan pada Tabel 1, dengan titik api pada Gambar 1.














Gambar 1. Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 dan 2002 di eks PLG, Kalimantan Tengah
(Sumber : Siegert and Bechteler, 2002; Page et al., 2002)

Dari dua tahun kebakaran hutan dan lahan yang ditunjukkan di atas, tampak bahwa gambut sangat sensitif untuk terbakar. Kebakaran pada tahun 2006 yang baru saja terjadi dan Kalimantan Tengah diselimuti kabut asap tebal sejak Agustus sampai dengan pertengahan November 2006, juga memberi petunjuk bahwa pengelolaan lahan gambut sangat tidak mudah. Limin et al. (2003) menyatakan bahwa kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah 100% disebabkan oleh manusia. Pernyataan tersebut didukung kuat oleh kebakaran atau titik api selalu dimulai dari akses yang dilalui manusia yaitu jalan, sungai, danau dan adanya kegiatan sementara masyarakat di dalam hutan.
Kriteria Pemanfaatan Gambut
Kegagalan pemanfaatan gambut tidak lain disebabkan banyak faktor yang dilangkahi dan tidak dipertimbangkan sebagai kriteria dalam pemanfaatannya. Dasar pemanfaatan lahan gambut yang selama ini hanya mengandalkan KEPPRES No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau untuk kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan produksi, tampaknya harus ditinjau kembali. Mengacu dari pertemuan Tim Ad Hoc di BAPPENAS, Limin et al (2003) menyatakan bahwa KEPPRES No. 23/1990 ditetapkan tidak berdasarkan hasil riset dan fakta lapangan, melainkan hanya mengakomodir pendapat para peserta rapat yang hadir dalam penetapannya. Tetap memberlakukan KEPPRES No. 32/1990 tersebut dipastikan akan menyebabkan kerusakan hebat pada lahan gambut yang tersisa, dan menyulitkan restorasi lahan gambut yang telah rusak.
Oleh karena itu, selain harus mempertimbangkan aspek budaya masyarakat dan aspek pasar, Limin (2000) mengajukan kriteria pemanfaatan gambut seperti diperincikan pada Tabel 2 berikut ini.



















Kekeliruan Pengelolaan Gambut Menyebabkan Kemiskinan
Kekeliruan pemanfaatan hutan rawa gambut yang dimulai dari eksploitasi hutan berlebih, pembukaan lahan untuk transmigran dan sebagainya, telah menyebabkan kemiskinan luar biasa bagi masyarakat lokal dan transmigran. Usaha tradisional masyarakat lokal khususnya suku Dayak yang telah diandalkan sebagai penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi rusak hingga hilang atau tidak lagi produktif seperti sebelumnya. Ganti rugi terhadap kerugian usahatani masyarakat sesungguhnya bukan suatu penyelesaian yang mampu menjamin kestabilan ekonomi rumah tangga masyarakat, karena nilai jangka panjang kegiatan produksi masyarakat yang telah dan akan dilakukan secara turun-temurun tidak akan tergantikan. Perubahan ekosistem yang menyebabkan kemiskinan tersebut disebabkan pemerintah tidak mempertimbangkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang telah ramah terhadap lingkungan. Jika pada awalnya masyarakat Kalimantan Tengah khususnya hanya terbatas memanfaatkan gambut tipis (disebut ”petak luwau”) yang terdapat di belakang tanggul sungai, dan sistem “handel” di daerah pasang surut, maka pada saat ini semua sistem tersebut tidak dapat berfungsi karena adanya bangunan kanal yang berlebih, yaitu berukuran sangat panjang, lebar dan dalam. Pembuatan “handel” (kanal berdimensi kecil) tersebut dilakukan berdasarkan kemampuan air masuk ke daerah bagian dalam sebagai akibat dorongan air laut. Oleh karena itu “handel” yang dibuat masyarakat hanya berdimensi kecil yaitu sempit (1-2 m), dangkal (1-2 m) dan pendek (0,5 – 2,0 km). Pengetahuan masyarakat lokal tentang pemanfaatan gambut untuk pertanian akan menimbulkan banyak masalah, ditunjukkan oleh pemukiman suku Dayak yang terkonsentrasi pada daerah lahan kering atau tanah mineral di daerah pedalaman. Limin (2000) melaporkan bahwa jumlah desa suku Dayak setiap 100 km dari muara sungai Kahayan atau tepi laut adalah sebagai berikut : 0-100 km (18 desa), 100-200 km (8 desa), 200-300 km (43 desa), 300-400 km (64 desa), 400-500 km (26 desa), dan > 500 km (10 desa). Kawasan pantai hingga 200 km ke arah pedalaman, umumnya didominir oleh lahan gambut dengan lapisan tebal.

Penempatan transmigrans di atas lahan gambut tebal dan di daerah antara dua sungai yang aspek hidrologinya bermasalah, perlu ditinjau kembali. Penderitaan para transmigran yang telah ditempatkan beberapa tahun sebelumnya, tampaknya tidak pernah dijadikan bahan untuk penetapan program lebih lanjut. Para transmigran yang ditempatkan di daerah tersebut sangat kesulitan mengembangkan usahataninya, sehingga banyak diantara mereka memilih pindah, bekerja sebagai buruh di perkotaan dan melakukan kegiatan liar (usaha kayu dan tambang). keberhasilan transmigran di Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) untuk tetap bertahap hidup, sesungguhnya sangat kontradiktif dengan pelestarian lingkungan. Teknologi produksi yang diterapkan adalah menggunakan abu sebagai masukan teknologi, namun proses penyediaannya dilakukan dengan membakar sisa tanaman di atas gambut. Tanpa abu usahatani mereka pasti akan kurang berhasil atau bahkan gagal. Penggunaan abu tersebut, disamping akan berdampak negatif bagi potensi gambut dan lingkungan, juga tergolong biaya tinggi.
Menurut Jentha (2003) dan Limin et al. (2005) untuk menumbuhkan seledri diperlukan setiap kali penanaman sebesar 117,29 ton abu/ha (2 – 3 kali tanam/tahun) dan jagung 16,09 ton/ha (2 – 4 kali tanam/tahun). Limin (1999 dan 2005) menyatakan bahwa kekurang-berhasilan memanfaatkan gambut dan lahan basah di Kalimantan Tengah khususnya, ditunjukkan oleh adanya upaya uji-coba yang belum juga memperlihatkan hasil yang jelas, namun terlanjur merusak lingkungan. Peningkatan luas lahan usaha dari teknologi “handel” ke sistem kanal berdimensi besar, merupakan suatu kekeliruan pemerintah pada waktu itu dalam menginterpretasi keberhasilan masyarakat lokal menerapkan cara tradisional. Historis pengelolaan gambut dan lahan basah berikut ini memberikan gambaran bahwa kita benar-benar belum menggunakan ilmu.
a. Sistem Handel (cara tradisional )
b. Anjir (1920 oleh Kolonial Belanda)
c. Sistem Polder (1950 oleh Schophyus/Ahli dari Belanda)
d. “Sistem Garpu” (UGM)/ “Sisir” (IPB and ITB) (1980’s)
e. “Sistem Kolam” (1980’s)
f. Sistem Kanal Raksasa (1996, PLG Sejuta Hektar)

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
• Pemanfaatan gambut untuk pertanian, terutama lapisan gambut tebal sangat bermasalah dan memerlukan biaya tinggi.
• Pembuatan saluran drainase pada lahan gambut, disamping menyebabkan perubahan status hidrologi dan akhirnya perubahan ekosistem, juga menyebabkan lapisan gambut di permukaan rawan untuk terbakar.
• Hutan rawa gambut yang kini terbuka dan telah mengalami perubahan status hidrologi, setiap tahun selalu terbakar akibat perilaku manusia.
• Pemadaman secara total kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dan memerlukan biaya tinggi.
• Lahan gambut lapisan tipis di daerah pasang surut yang sebelumnya dikelola dengan cara tradisional dan mampu menetapkan status beberapa daerah (Palingkau, Basarang, Mintin dan Tamban) sebagai lumbung beras, kini telah berubah status.
• Poensi puluhan hingga ratusan jenis vegetasi alami hutan rawa gambut, lebih layak dan berkelanjutan sebagai sumber pendapatan masyarakat, dibandingkan jika dibuka untuk kepentingan lain.
• KEPPRES No.32 Tahun 1990, saatnya untuk ditinjau kembali.
• Program pemberdayaan masyarakat selama ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena strateginya keliru.

Saran
1. Lahan gambut dengan ketebalan lapisan (≥ 1 m) harus dimanfaatkan untuk habitat flora/fauna aseli setempat.
2. Lahan gambut yang telah rusak dan diawali dari perubahan status hidrologi, harus dipulihkan dengan memprioritaskan upaya pemulihan status hidrologinya.
3. Lahan gambut yang terbuka harus dihutankan kembali dengan species lokal dengan menerapkan sistem ”Beli Tanaman Tumbuh”.
4. Pemanfaatan lahan gambut yang keliru dan dominan menimbulkan masalah, sebaiknya segera ditinggalakan, agar tidak memperpanjang dan memperluas permasalahan lingkungan.
5. Pengamanan potensi gambut dari ancaman kebakaran hendaknya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat melalui kompensasi terhadap kemampuan menekan laju emisi karbon.

DAFTAR PUSTAKA

Jentha, 2003. Pemanfaatan Abu sebagai Pupuk oleh Petani di Kalampangan. Laporan Ketrampilan Profesi. Fakultas Pertanian. Universitas Palangka Raya.

Limin, S. H. 1998. Residual Effect of Lime, Phospahate and Manure on Crops Commodities in Inland Peat. The University of Palangka Raya.

Limin, S. H. 1999. Pengalaman dan Persepsi di Daerah Tentang Pengembangan Masyarakat (Suatu Tinjauan di Kalimantan Tengah). Makalah Seminar Nasional Dampak Sosial dan Pengembangan Masyarakat Dalam Rrangka Peresmian Ikatan
Profesional Lingkungan Hidup Indonesia. (IPLHI) Jakarta, 28 April 1999.

Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung, dan Layuniyati. 2000. Konsep Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Disampaikan pada “Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan ekspose hasil Penelitian di Lahan Basah”, diselenggarakan oleh Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 9 Maret 2000.

Limin, S. H., Saman, T. N. and Alim, S. 2003. Forest Fires Suppression Activities in Kalampangan Zone and the Natural Laboratory of Peat Swamp Forest (NLPSF) in Central Kalimantan. Presented in Hokkaido University, Sapporo-Japan, 20 March 2003.

Limin, S. H. Jaya, A., Dohong, S., and Jagau, Y. 2003. Some Important Considerations on the Restoration of the Ex-Mega Rice Project in Central Kalimantan. Presented in the Meeting on the Integrated Plan on the Restoration of the Ex-Mega Rice Project at the BAPPENAS Jakarta, 8th – 10th September 2003.

Limin, S. H. 2005. History of Peatland Management in Central Kalimantan. Presented in Eco-Human Interactions in Tropical Forest Symposium. Kyoto-Japan, 13th -14th June, 2005.

Limin S. H., J. O. Rieley, S. E. Page, and Yunsiska. E. 2005. Peat Thickness, Type of Minerals on the Bottom Peat Layer and Hydrology Status Should be taken into Account for the Utilization of Peatland for Agricultural Purposes. Presented in Symposium International and Workshop Restoration and Wise Use of Tropical Peatland: Problems of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management, Palangka Raya, 21 – 24 September 2005.

Limin, S. H. 2006. Effectiveness of Dams Constructed to Raise Water for Restoration Tropical Peatland. Presentation at the 5th European Conference on Ecological Restoration Greifswald University-Germany, August 22nd – 25th , 2006. Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H.-D.V., Jaya, A. & Limin, S. (2002) The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65.

Siegert F. and Bechteler, A. 2002. Burnt area assessment in Central Kalimantan for the year 2002. Remote Sensing Solution GmbH-LMUM, Germany.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

isu global, pemanasan global, global warming, strategi mengurangi global warming, efek rumah kaca, tanaman padi, tanah sawah, CO2, CH4, N2O,

budidaya, kelapa sawit, produksi kelapa sawit, jenis kelapa sawit, pertumbuhan kelapa sawit, permasalahan kelapa sawit, tanaman perkebunan

kelapa sawit, budidaya kelapa sawit, elaeis jack, pemupukan