isu global, pemanasan global, global warming, strategi mengurangi global warming, efek rumah kaca, tanaman padi, tanah sawah, CO2, CH4, N2O,


STRATEGI MENEKAN EFEK GAS RUMAH KACA MELALUI
MANAJEMEN BUDIDAYA TANAMAN PADI
 
PEMANASAN GLOBAL DAN PENYEBABNYA
Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmospher bumi memanas. Penjebak gelombang panas tersebut adalah lapisan gas yang berperan seperti dinding kaca atau ‘selimut tebal’, antara lain adalah uap air, gas asam arang atau karbon dioksida (CO2), gas methana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), perfluorokarbon (PFC), hidrofluorokarbon (HFC) dan sulfurheksfluorida (SF6). Tiga jenis gas yang paling sering disebut sebagai GRK utama adalah CO2, CH4 dan N2O, karena akhir-akhir ini konsentrasinya di atmospher terus meningkat hingga dua kali lipat (IPCC, 2007).
PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL
Pada tahun 2007 Indonesia didaulat sebagai salah satu negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia, terutama berasal dari kegiatan alih guna lahan hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi lahan pertanian Negara emitor GRK terbesar adalah USA dan China, jumlah GRK yang diemisikan dua kali lipat lebih besar dari emisi asal Indonesia. Bedanya, emisi GRK dari kedua negara industri tersebut berasal dari penggunaan bahan bakar fossil dan industri.
Peningkatan gas rumah kaca diatmosfer terjadi akibat aktivitas manusia yaitu penebangan hutan, pembakaran lahan untuk budidaya, industri, penggunaan bahan bakar fosil, lahan sawah, lahan gambut,  peternakan dll. Penyumbang gas rumah kaca terbanyak terdiri dari CO2, N2O dan CH4.  Penyumbang CO2 di atmosfer terdiri dari penggunaan bahan bakar fosil (56,6%),  penebangan hutan dan bahan organik (17,3%) dan lain-lain (2,8%). Persentase N2O, CH4 dan gas lainnya berturut-turut 7,9%, 14,3% dan 1,1%. Kegiatan manusia yang berperan dalam peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer berturut-turut sumber energi, hutan, industri, pertanian, trensportasi, pemukiman dan limbah yaitu 25,9%, 17,4%, 19,4%, 13,5%, 13,1%, 7,9% dan 2,5%.
            Lahan pertanian merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca non CO2 yaitu berasal dari pupuk (N2O) 38%, peternakan (CH4) 31%, Pertanian lainnya (CH4 dan N2O)13%, padi (CH4) 11 % dan limbah ternak dan pupuk kandang (CH4 dan N2O) yaitu 7%.
            Agus dan Van Noordwijk (2007) melaporkan bahwa pembakaran hutan alami pada lahan gambut menyebabkan pelepasan CO2 sebanyak 734 ton ha-1 yang berasal dari C yang tersimpan di vegetasi sebasar 200 ton ha-1.Tetapi jumlah tersebut mungkin masih lebih rendah dari jumlah CO2yang diemisikan sebenarnya, karena selama pembakaran hutan lapisan atas gambut juga terbakar dan melepaskan CO2. Seandainya gambut yang terbakar setebal 10 cm, maka akan terjadi penambahan emisi CO2sebesar 220 ton ha-1 karena tanah gambut mengandung C sekitar 6 ton ha-1 cm-1. 
Setelah pembakaran hutan, biasanya lahan dialih-fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, HTI atau tanaman semusim. Cara pengelolaan paska pembakaran (terutama berhubungan dengan pengeringan dan pengolahan tanah) sangat mempengaruhi besarnya emisi CO2 berikutnya. Pembuatan saluran drainase sedalam 80 cm pada kebun sawit, diestimasi akan mengemisikan CO2 sebanyak 73 ton ha-1 th-1. Jadi berarti dalam satu siklus tanam sawit (25 tahun) akan mengemisikan CO2 sebanyak 1820 ton ha-1. Suatu jumlah pelepasan yang sangat besar, yang mungkin terlewatkan dalam penghitungan neraca C di skala global saat ini.
Budidaya Padi dan Pemanasan Global.
            Beras adalah salah satu komoditas strategis di dunia. Beras adalah sumber makanan utama dari lebih 3 milyar orang didunia pada tahun 2004, terutama di Asia. Berdasarkan estimasi dari FAO produksi padi meningkat 1,4 % pada tahun 2007 menjadi 650 juta ton. Ekspansi produksi meningkat 1 % dari area yang dipanen sebesar 157,5 juta ha dengan rata-rata produktivitas 4,12 sampai 4,14 ton/ha.
Luas panen padi di Indonesia dalam periode 1997-2007 naik 1,64 % pertahun dari 10,5 juta ha pada tahun 1990 menjadi 12,1 juta ha pada tahun 2007. Produktivitas padi nasional dalam periode 1990-2007 berkisar 4,30-4,74 t/ha, dengan laju kenaikan 0,98 % pertahun. Dalam kurun waktu 1990-2007 produksi padi di Indonesia meningkat 2,63 % pertahun dari 45,2 juta ton pada tahun 1990 menjadi 57,1 juta ton pada tahun 2007  
Budidaya padi memiliki efek signifikan terhadap pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca, yaitu CO2 , N2O dan CH4. Walaupun CO2  bukan gas rumah kaca yang kuat tetapi dia memainkan peranan penting dalam efek rumah kaca. CO2 adalah sumber karbon yang digunakan oleh seluruh tanaman pada proses fotosintesa. Proses fotosintesa adalah suatu proses dimana tanaman menggunakan sinar matahari, air dan CO2 untuk memproduksi  karbohidrat dan senyawa biologis yang menggurangi jumlah CO2 di udara.
Hal ini membantu mengurangi pemanasan global. Efisiensi asimilasi CO2 pada padi (tanaman C3) dapat dibatasi oleh fotorespirasi. Jika efisiensi asimilasi CO2 bertambah, jumlah karbon yang terikat pada padi meningkat dan menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfer.
Pembentukan gas nitrogen dioksida secara antropogenik dapat terjadi melalui dua cara yaitu pertama, proses biogenik yaitu suatu proses yang melibatkan bakteri seperti denitrifikasi dan nitrifikasi didalam tanah. Kedua proses abiogenik dimana dalam mekanisme ini tidak melibatkan bakteri. Contohnya pembakaran biomassa yang tidak sempurna. Gas N2O merupakan gas rumah kaca yang tingkat pemanasan per satu molekulnya setara dengan 200-300 kali tingkat pemanasan yang disebabkan oleh CO2. Gas ini juga merupakan salah satu penyebab penciutan lapisan ozon di stratosfer. Walaupun memiliki nilai pemanasan yang hampir 300 kali lebih besar dari CO2, namun emisis gas N2O dari lahan sawah relatif rendah, berkisar antra 0,1-0,6% dari jumlah pemberian pupuk N (urea) dalam tanah (Granli and Bockman, 1994), dan lebih mudah dikendalikan melelui efisiensi pemupukan N pada lahan pertanian. Emisi N2O dari lahan sawah di Jakenan Jawa Tengah, berkisar antara 0,5-0,9 kg  N2O/ha/musim atau setara dengan 0,3% dari rata-rata urea yang diberikan lahan sawah sebanyak 250 kg urea/ha/musim.
Methan (CH4) merupakan GRK kedua setelah CO2 dalam kaitannya dengan pemanasan global atau efek rumah kaca. Daya pemanasan global suatu molekul gas CH4 ditroposfer sekitar 21 kali daya pemanasan suatu molekul CO2 gas CH4 akan bertahan di lapisan troposfer sekitar 7 sampai 10 tahun.
CH4 dihasilkan oleh sekelompok bakteri yang menguraikan bahan organik dalam keadaan anaerobik, misalnya pada lahan sawah, rawa, padang rumput, dan hutan yang terbakar. Lahan rawa dan sawah dipercaya sebgai sumber utama CH4 karena didalamnya  terkandung banyak unsur karbon tanah dan suasananya anaerobik.
Produksi emisi dan oksidasi CH4 pada lahan sawah dipengaruhi oleh berbagai mikroorganisme yang aktivitasnya juga  dipengaruhi juga oleh faktor biologi, fisika, dan kimia tanah sawah. Rhizosfer tanaman padi mempengaruhi produksi dan oksidasi CH4. Selama masa pertumbuhan tanaman, fluktuasi dan air sawah juga mempengaruhi produksi dan oksidasi CH4.
Pada prakteknya banyak orang yang berusaha menurunkan gas rumah kaca melalui penghindaran penggenangan pada budidaya padi dan meningkatkan asimilasi CO2 dalam tanaman.
Dampak Perubahan Iklim Pada Budidaya Padi
Suhu udara bumi sejak 1861 telah meningkat 0.6ºC terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer (IPCC, 2001). IPCC memprediksi pada tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu rata-rata global meningkat 1.4 – 5.8 ºC.  Dilaporkan oleh BMG bahwa di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0.2º – 1.0ºC, yang terjadi antara tahun 1970 hingga 2000 sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan rata-rata curah hujan bulanan sekitar 12-18% dari jumlah hujan sebelumnya. Perubahan yang lain adalah meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Perubahan perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap hasil pertanian, berkurangnya salju di puncak gunung, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna.
Perubahan yang terjadi pada temperatur, kenaikan air laut dan penutupan salju di belahan kutub Utara. Bila suhu bumi meningkat hingga 3ºC, diramalkan sebagian belahan bumi akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah kutub, misalnya Bangladesh akan tenggelam. Bencana tzunami akan terjadi lagi di beberapa tempat, kekeringan dan berkurangnya beberapa mata air, kelaparan dimana-mana Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 - 88 cm.
Para ilmuan juga memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil, akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara sehingga populasi flora dan fauna semakin terbatas. Pada daerah-daerah pegunungan subtropis, bagian yang ditutupi  salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair dan musim tanam akan lebih panjang di beberapa area.
Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap kelembaban udara. Pada daerah-daerah beriklim hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan, sehingga akan meningkatkan curah hujan, rata-rata, sekitar 1 % untuk setiap 1ºC pemanasan. Dalam seratus tahun terakhir ini curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 %. Intensitas curah hujan telah meningkat akhir-akhir ini bila dibandingkan dengan waktu 1950 -1999. Para ahli telah memperkirakan perubahan curah hujan yang akan terjadi di Asia Tenggara (Lal et al., 2001 dalam Santoso dan Forner, 2006) bahwa presipitasi di Asia Tenggara akan meningkat 3.6% di tahun 2020-an dan 7.1% di tahun 2050, serta 11.3% di tahun 2080-an.
Fenomena variabilitas dan perubahan iklim dunia secara langsung akan mempengaruhi iklim di Indonesia, antara lain berupa kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) El-Nino dan El-Nina yang semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya menyebabkan kejadian kekeringan dan banjir.  Perubahan iklim juga menyebabkan pergeseran dan perubahan pola curah hujan dan musim yang mengacaukan musim dan pola tanam serta luas areal tanam dan panen.
Kejadian kekeringan menyebabkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan kejadian banjir karena dampaknya yang lebih luas dan waktunya lebih lama. Tingginya tingkat kerusakan lahan sawah akibat kekeringan terjadi pada tahun-tahun El-Nino 1991, 1994, 1997 dan 2003. Sebaliknya kerusakan lahan sawah akibat banjir terluas terjadi pada tahun La-Nina 1995, 1999 dan 2007.
Perubahan kualitas dan komposisi udara, hujan asam, dan awan coklat menghasilkan bioklimat baru bagi sistem pertanian umumnya dan bagi sistem produksi padi khususnya. Ciri utama bioklimat baru, antara lain adalah : Konsentrasi CO2 diudara makin tinggi, suhu makin panas dan iklim ekstrim (El Nino/La Nina) akan sering terjadi. IRRI mensintesis pengaruh parameter iklim, pada kondisi iklim yang berubah, terhadap hasil dan produksi padi yaitu :
Ø    Naiknya konsentrasi CO2 menimbulkan dampak positif terhadap bimassa padi tetapi pengaruh bersihnya terhadap hasil padi tergantung pada penurunan hasil akibat kenaikan suhu udara. Untuk setiap kenaikan 75 ppm konsentrasi CO2, hasil padi akan meningkat 0,5 t/ha. Tetapi hasil padi akan turun 0,6 t/ha untuk setiap kenaikan suhu 1º C
Ø    Kenaikan suhu dan kejadian cuaca ekstrim adalah salah satu indikator perubahan iklim    (Mirza, 2003). Pada tanaman padi suhu tinggi ekstrim sangat penting pada periode pembungaan ekspose tanaman terhadap suhu tinggi ekstrim pada stadia pembungaan dalam beberapa jam mengurangi viabilitas tepung sari, dan menyebbakan kehilangan hasil. Sterilitas gabah naik cepat pada suhu lebih dari 35 º C (Osada et al,1973, Mitsui et al, 1976), dan peningkatan  CO2 dengan suhu tinggi dapat memperburuk keadaan, karena turunnya pendinginan tanaman melalui transpirasi.
Ø    Kenaikan suhu malam adalah penyebab utama dari naiknya suhu global sejak pertengahan abad ke-20 (Kukla dan Karl, 1993). Hasil padi berkorelasi negatif dengan suhu malam (Peng et al, 2004). Alasan dari korelasi negatif ini adalah variasi radiasi matahari, kehilangan akibat respirasi atau pengaruh differensial dari suhu malam vs suhu siang terhadap pertumbuhan anakan pengembangan luas daun, pemanjangan batang dan pengisian gabah (Peng et al, 2004, Sheehy et al, 2005).
Ø    Pengayaan konsentrasi CO2 dan perubahan suhu dapat juga berpengaruh terhadap evolusi spesies gulma dan kompetisi antara spesies gulma golongan C3 dan C4 (Zinka, 2000). Hal yang sama dapat terjadi pada dinamika populasi hama dan penyakit tanaman, juga terhadap konsep PHT
Budidaya padi sawah sering dituduh sebagai penyumbang terhadap emisi gas rumah kaca tetapi budidaya padi sendiri terkena dampak negatif dari perubahan iklim . Melihat pentingnya peranan padi dalam sistem pangan, maka masalah ini harus dipecahkan. Guna menangani masalah pemanasan global yang memang telah terjadi, maka perlu dilakukan upaya ADAPTASI terhadap perubahan iklim global yang sinergi dengan upaya MITIGASI GRK (Verchot et al., 2006). Kegiatan adaptasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim baik secara antisipatif maupun reaktif. Sedangkan kegiatan mitigasi dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan efek gas rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global.
Aktivitas manusia dalam beberapa dekade terakhir telah meningkatkan konsentrasi berbagai gas rumah kaca, yang menyebabkan peningkatan CO2, metan, ozon troposfer, CFC dan asam nitrat. Untuk menormalkan alam banyak peneliti di seluruh dunia mencari cara untuk mengurangi efek gas rumah kaca, sehingga pemanasan global menjadi perhatian dunia. Suatu strategi pertanian yang berbeda digunakan untuk mengurangi gas rumah kaca. Konsep ini terutama berfokus pada tanaman transgenik dan sistem manajemen terpadu. Padi transgenik (tanaman C3) dengan menyisipkan gen fotosintetik phosphoenolpyruvate (PEP) karboksilase (PEPC) dan piruvat ortofosfat dikinase (PPDK) dari tanaman C4 telah menunjukkan kapasitas fotosintesis dan efisiensi asimilasi karbondioksida meningkat. Namun, masih ada kelemahan yaitu uji lapangan, stabilitas transgenik tidak dapat dihindari. Petani Taiwan memanfaatkan hormon komersial dan kombinasi pupuk untuk pertumbuhan padi. Sistem manajemen terpadu diatur berdasarkan kebutuhan fisiologis tanaman. Cara ini meningkatkan hasil padi per satuan luas dan laju pertumbuhan malai. Fiksasi CO2 diharapkan lebih besar, yang secara tidak langsung mengurangi jumlah CO2 di lapangan. Di sisi lain, emisi metana juga dapat dikurangi dengan asimilasi CO2 yang lebih baik. Strategi ini bisa meningkatkan hasil padi dan mempunyai manfaat terhadap pemanasan global. Dalam jangka pendek, sistem manajemen terpadu, pendekatan eko-pertanian, akan menjadi solusi yang lebih baik dari tanaman transgenik.
Suhu meningkat tak terduga terutama karena peningkatan gas rumah kaca di atmosfer karena kegiatan antropogenik: orang menebang hutan untuk kayu atau lahan untuk pertanian, industri atau pemukiman. Deforestasi yang luas mengurangi jumlah pohon yang tersedia untuk menyerap karbondioksida dalam skala besar yang diproduksi di atmosfer dari lahan basah, sawah dan ternak. Pembakaran biomassa, produksi gas alam, landfill dan pertambangan batubara juga mengeluarkan metana. Karena eksploitasi berlebihan terhadap bahan bakar fosil dan sumber daya alam lainnya,  menjadi sulit untuk mempertahankan saldo energi global sehingga suhu bumi meningkat. Praktek-praktek pertanian seperti sistem tanam padi dianggap sebagai emitor gas rumah kaca utama yang memberikan kontribusi emisi global (Neue dan Minami, 1994; Banker et al., 1995; Wassmann dan Aulakh, 2000).
Padi menyerap karbon, tetapi jika tanaman tidak dapat memanfaatkannya dengan efisien, karbon tersebar ke dalam tanah, konversi ke metana. Dalam situasi ini, pemanasan global telah menjadi isu penting. Padi merupakan tanaman ekonomi penting di dunia yang berfungsi sebagai sumber makanan utama bagi lebih dari 3 milyar orang di seluruh dunia pada tahun 2004, khususnya di Asia. Lebih dari 90% dari luas panen padi di dunia ini di Asia. Menurut perkiraan FAO, produksi padi meningkat sebesar 1,4% pada tahun 2007 yaitu 650 juta ton. Perluasan produksi mengalami kenaikan 1,0 persen dengan luas panen 157.500.000 hektar, dan rata-rata hasil 4,12-4,14 ton per hektar (Gambar 5). Di antara gas-gas rumah kaca, baik karbondioksida dan metana memainkan peran besar dalam efek rumah kaca.
Gas-gas dengan uap air membuat selimut seperti lapisan mengelilingi bumi dan mencegah panas serta menjaga suhu rata-rata global biologis. Efek ini disebut efek rumah kaca dan gas yang dapat menyerap radiasi panas dari bumi karena itu disebut gas rumah kaca. Gas rumah kaca semakin bertambah sebagai akibat dari kegiatan antropogenik, khususnya deforestasi dan pembakaran bahan bakar fosil untuk menyediakan ruang hidup dan energi bagi populasi berkembang. Karbondioksida, gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan di suhu atmosfer dan panas beberapa dekade selama  berabad-abad. Ini merupakan 77% dari total rumah kaca emisi gas pada tahun 2004 (Gambar 3). Meskipun karbondioksida adalah gas rumah kaca tetapi memainkan peran utama dalam efek rumah kaca. Karbondioksida adalah satu-satunya sumber karbon yang digunakan oleh semua tanaman selama fotosintesis. Fotosintesis adalah proses di mana tanaman menggunakan sinar matahari, air, dan karbondioksida untuk menghasilkan karbohidrat dan senyawa biologis lainnya, yang mengurangi jumlah karbondioksida di udara. Hal ini, pada gilirannya, membantu mengurangi pemanasan global. Dengan demikian tanaman berperilaku sebagai "paru-paru bumi". Efisiensi asimilasi karbondioksida dalam padi, tanaman C3, akan berkurang karena fotorespirasi. Jika efisiensi asimilasi karbondioksida meningkat, jumlah karbon tetap pada padi meningkat dan karenanya menurunkan konsentrasi karbondioksida di atmosfer.
Produksi fotosintesis padi rendah menyebabkan karbon yang berlebih masuk ke dalam tanah, sebagai sumber karbon untuk methanogensis (Minoda dan Kimura, 1994; Minoda et al., 1996; Cheng et al., 2007). Hasil penelitian mereka menyatakan emisi metan dari  padi dapat dibatasi dengan  mengoptimalkan produksi padi. Pada penelitian ini, menunjukkan bahwa emisi metana menurun ketika hasil gabah meningkat.
Pada tumbuhan, ada tiga jenis fiksasi karbon selama fotosintesis: C3, C4 dan CAM. Tanaman C3 seperti padi menggunakan enzim yang disebut ribulosa bisphosphate (RuBP) karboksilase (RuBisCO), karbondioksida menjadi senyawa 3-karbon yang stabil disebut 3 – phosphoglycerate (3-PGA).
Reaksi ini terjadi dalam tanaman C3 sebagai langkah pertama dari siklus Calvin di kloroplas. Meskipun RuBisCO  karbondioksida ke oksigen (Sekitar 3 carboxylations per oksigenasi), tetapi pada konsentrasi oksigen tinggi RuBisCO sering menggunakan molekul oksigen ke dalam RuBP bukan molekul karbondioksida. Oksidasi ribulosa-1,5-bisphosphate (RuBP), efisiensi asimilasi karbondioksida pada tumbuhan C3 sangat berkurang. Pada tanaman C4, karbondioksida ditarik keluar dari malat dan ke dalam senyawa malat empat-karbon dan ke dalam siklus Calvin. Langkah tambahan mengangkat konsentrasi karbondioksida di sekitar RubisCO, dan konsentrasi CO2 tinggi pada fotorespirasi, dengan demikian meningkatkan efisiensi asimilasi karbondioksida. Pada kondisi pertumbuhan yang optimal, tanaman C4 lebih produktif daripada tanaman C3 (Brown, 1999). Tanaman C4 menunjukkan efisiensi dalam menggunakan nitrogen dan air dan hasil meningkat. Usaha para peneliti di seluruh dunia untuk meningkatkan asimilasi karbondioksida dalam tanaman C3 berdasarkan tanaman C4.  Pengaturan fotosintesis padi dengan harapan mendorong hasil sebesar 50%. Mereka menjelaskan sejumlah cara, padi bisa diubah ketanaman C4 seperti melalui hibridisasi konvensional dan tanaman transgenik (Normile, 2006).
Hibridisasi konvensional antara tanaman C3 dan C4 mungkin membutuhkan banyak waktu dan hanya tersedia pada beberapa genera tanaman. Bahkan lebih, hibrida C3-C4 yang paling menunjukkan infertilitas karena pasangan kromosom abnormal (Brown dan Bouton, 1993). Dengan perkembangan bioteknologi, cara yang paling langsung untuk mentransfer sifat pada tanaman C3 dan C4 adalah dengan rekayasa genetik. Sebuah prestasi yang berhasil adalah overexpession secara simultan dari phosphoenolpyruvate (PEP) karboksilase (PEPC) dan piruvat ortofosfat dikinase (PPDK) pada padi. PEPC adalah enzim yang mengkatalisis langkah pertama dari siklus untuk memperbaiki sel-sel mesofil daun yang tidak ada pada tumbuhan C3. Pada tanaman C4, senyawa 4-karbon disintesis oleh PEP karboksilase menggunakan PEP dan karbondioksida. Di sisi lain, PPDK mengkatalisis konversi piruvat ke PEP yang merupakan substrat PEP karboksilase. Gabungan berlebih dari PEP karboksilase dan PPDK dalam meningkatkan kapasitas fotosintetik tanaman padi terkait dengan peningkatan penyediaan PEP untuk jalur Shikimate.

http://www.uic.edu/classes/bios/bios100/lectures/c4.jpg


Telah ada kemajuan yang signifikan, enzim kunci biokimia C4 di tanaman C3 transgenik. Namun demikian, apakah pendekatan ini akan cukup untuk menekan fotorespirasi. Ada banyak masalah yang dihadapi seperti hibridisasi tradisional, tanaman transgenik dengan PEPC dan PPDK padi juga memiliki kesuburan rendah. Hal ini penghalang besar ketika beralih ke aplikasi praktis. Selain itu, apakah sifat-sifat C4 dapat diwariskan secara stabil pada generasi berikut perlu dievaluasi. Selanjutnya, beberapa tahun uji lapangan harus dijalankan dalam tanaman transgenik sebelum pemasaran. Hal ini tidak hanya untuk keselamatan manusia tetapi juga untuk perlindungan lingkungan.
Peneliti IRRI optimis bahwa padi C3 dapat direkayasa secara genetik dengan melihat hal-hal berikut:
Ø  Gen pengendali C4 pada tanaman jagung dapat dimasukkan dengan berhasil ke dalam tanaman padi,
Ø  Terbukti bahwa spesies padi liar mempunyai sifat C4,
Ø  Enzim C4 tidak dijumpai khusus pada tanaman C4, tetapi tanaman C3 juga mempunyai enzim C4, tetapi produksinya sanngat sedikit atau hampir tak terdeteksi,
Ø  Dugaan bahwa gen pengendali C4 timbul dari serangkaian gen yang telah ada ditanaman C3, perlu modifikasi pola ekspresi dan sifat kinetik dan enzim,
Ø  Pola C4 berkembang baik pada lokasi tertentu dari tanaman C3, yaitu pada jaringan hijau di ikatan vaskular. Gabah padi diduga menggunakan sebagian dari pola C4,
Ø  Jagung, tanaman C4 utuh, mempunyai bagian-bagian jaringan C3,
Ø  Padi liar ternyata mempunyai banyak bentuk anatomis dari tanaman C4,
Ø  Padi liar juga mengandung peralihan C3-C4.
Dari uraian di atas jelas bahwa proses evolusi telah dan sedang berlangsung yang mengubah pola fotosintesis C3 ke pola fotosintesis C4, atau sebaliknya.  Parameter iklim sangat berpengaruh dalam proses evolusi. Rekayasa genetik diharapkan dapat mempercepat proses perubahan pola fotosintesis tanaman padi C3 menjadi C4 (Balai  Besar Penelitian Tanaman Padi, 2008).
STRATEGI DAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

          Pemanasan global (global warming) telah mengubah kondisi iklim global, regional dan lokal. Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim adalah unsur utama dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Amien, dkk.2006).
          Perubahan iklim global merupakan tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan karena berimplikasi terhadap pergeseran awal musim tanam dan berujung pada penurunan produktivitas tanaman akibat kekeringan atau terendam banjir, atau penggenangan dan peningkatan salinitas pada lahansekitar pantai akibat meningkatnya permukaan air laut. Oleh karena itu perlu penyesuaian waktu tanam dan pola tanam, pengembangan varietas unggul yang lebih adaptif, serta teknologi pengelolaan sumberdaya air yang lebih efisien (Runtunuwu. 2006).
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian
          Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti EI-Nino dan La-Nina, dan (c) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Koesmaryono. 1999).
Peningkatan Suhu Udara
          Peningkatan suhu akibat perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim dan meningkatnya serangan hama penyakit.
Kejadian Iklim Ekstrim (Anomali)
          Selain menurunkan produktivitas, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan dan kebanjiran, juga menjadi penyebab penciutan dan fluktuasi luas tanam serta memperluas areal pertanaman yang akan gagal panen, terutama tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Oleh sebab itu perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim seperti EI-Nino dan La-Nina akan mengancam ketahanan pangan nasional, dan keberlanjutan pertanian pada umumnya (Fagi. 2002).
Peningkatan Permukaan Air Laut
            Selain akan menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam air laut, peningkatan permukaan air laut juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah sekitar pantai. Salinitas pada tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga mengganggu fisiologis dan fisik pada tanaman, kecuali tanaman tumbuhan laut dan pantai atau varietas adaptif.
STRATEGI ANTISPASI DAN PENANGGULANGAN
          Untuk menghadapi penyimpangan iklim, Departemen Pertanian telah menyusun strategi antisipasi dan penanggulangan yang dipilah atas: (a) strategi antisipasi, (b) strategi mitigasi, dan (c) strategi adaptasi.
Strategi antisipasi, ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi berdasarkan kajian dampak perubahan iklim terhadap (a) sumberdaya pertanian seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumberdaya air (aspek hidrologis), keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai; (b) infrastruktur sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi, dan waduk; (c) sistem produksi pertanian, terutama sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi; dan (d) aspek sosial-ekonomi dan budaya.
Strategi mitigasi. Walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagai emitor terbesar oksigen dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakaran hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui: (a) CDM (Clear Development Mechanism),                         (b) perdagangan karbon (carbon trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah (Las.2006).
Strategi adaptasi adalah pengembangan berbagai upaya yang adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur dan lain-lain melalui (a) reinventarisasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air, (b) penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air, (c) penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah (Las. 2006).
INOVASI TEKNOLOGI MITIGASI PERUBAHAN IKLlM
A. Varietas Unggul Rendah Emisi GRK
          Padi sawah termasuk salah satu sumber utama emisi gas metan, dengan volume emisi berkisar antara 20-100 Tg CH4 per tahun.
          Penelitian pada lahan sawah tadah hujan dalam periode 1996-2000 menunjukkan varietas Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, dan Way Apo Buru menghasilkan emisi gas CH4 yang rendah. Keempat varietas juga tahan terhadap hama dan penyakit utama, antara lain wereng coklat biotipe-2 dan biotipe-3.
B. Teknologi Pemupukan, Pengelolaan Tanah dan Air
          Emisi gas metan dapat direduksi hingga 17,3% dengan penggunaan pupuk ZA, sedangkan dengan pupuk urea hanya mereduksi 8% dibandingkan dengan pertanaman padi tanpa pupuk urea. Teknologi tanpa olah tanah mampu mereduksi laju emisi gas metan 31,5=63,4% disbanding teknologi olah tanah sempurna. Demikian juga teknologi irigasi berselang (intermitten irrigation) selain menghemat air, juga berperan dalam mereduksi emisi gas metan 34,3-63,8% dibandingkan dengan pertanaman yang digenangi terus menerus.
INOVASI TEKNOLOGI ADAPTIF MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
A. Kalender Tanam: Penyesuaian Waktu Tanam dan Pola Tanam
          Penyesuian waktu tanam dan pola tanam merupakan pendekatan yang strategis dalam mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim tanam dan perubahan pola curah hujan. Waktu tanam dan pola tanam disusun berdasarkan beberapa skenario perubahan iklim, khususnya pola dan jumlah curah hujan (Syahbuddin. 2007).
          Kalender tanam menggambarkan potensi pola dan waktu tanam untuk tanaman pangan, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumberdaya iklim dan air.
B. Varietas Unggul Adaptif
Varietas Padi Toleran Salinitas
          Pada tanaman padi, salinitas identik dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan Al. contoh varietas : Way Apo Buru, Margasar, Lambur, GHTS-l, GHTS-2 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2004).
Varietas Toleran Kekeringan
          Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan beberapa varietas padi dan palawija yang selain tahan terhadap hama dan penyakit utama juga toleran kekeringan. Varietas unggul padi yang telah terbukti toleran kekeringan adalah Dodokan, Silugonggo, galur harapan S 3382 dan BP 23. Kedelai yang toleran kekeringan adalah varietas Argomulyo, Burangrang, GH SHRjWIL-60 dan GH 9837 fW-D-5-211, untuk kacang tanah meliputi varietas Singa dan Jerapah, untuk kacang hijau adalah varietas Kutilang dan GH 157D-KP-1, sedangkan untuk jagung adalah varietas Bima 3 Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman.
Varietas Padi Toleran Rendaman
          Padi toleran rendaman diperlukan untuk dikembangkan pada lahan-lahan rawa. Badan Litbang Pertanian telah menguji beberapa galur yang terbukti toleran genangan, contoh : GH TR 1, IR-69SO2-6-SRN-3-UBN-1-B-1-3, IR70181-S-PMI-1-2-B-1, IR70213-9-CPA-12-UBN-2-1-3-1, IR70215-2-CPA-2-1-B-1-2 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2007).
C. Teknologi Pengelolaan Air dan Iklim
          Dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan dan mengembangkan berbagai teknologi pengelolaan sumberdaya air, antara lain teknologi panen air (water halvesting), teknologi pemanfaatan air secara efisien melalui sistem irigasi tetes di tingkat desa dengan membangun Jaringan Irigasi Tingkat Desa/JIDES dan di tingkat usahatani dengan membangun Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani/JITU, teknologi prediksi iklim, dan teknologi penentuan masa tanam dan pola tanam (Tim Peneliti Agroklimat. 1999).
Teknologi Panen Hujan
          Panen hujan didasarkan atas prinsip penampungan kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau untuk pengairan tanaman. Teknologi panen hujan yang sudah berkembang penerapannya adalah embung dan dam parit.
1) Embung
          Embung adalah salah satu teknologi pemanenan aliran permukaan dan air hujan, berfungsi sebagai tempat resapan yang dapat meningkatkan kapasitas simpanan air tanah dan dimanfaatkan untuk pengairan tanaman pada musim kemarau.
2) Dam parit
          Dam parit dibangun untuk mengumpulkan/membendung aliran air pada suatu parit (drainage networl) dan mendistribusikannya untuk mengairi lahan di sekitarnya.
Teknologi Irigasi
1) Sumur Renteng
          Sumur renteng merupakan teknologi irigasi yang cocok dikembangkan pada dengan tanah yang memiliki tekstur berpasir. Tanah-tanah seperti ini memiliki kemampuan meloloskan air yang sangat tinggi sehingga tidak mampu menyimpan air dalam waktu lama. Prinsip sumur renteng adalah menampung air untuk irigasi dalam sebuah bak penampungan berbentuk silinder yang terhubung dengan bak penampungan lainnya melalui pipa kapiler.
2) lrigasi Kapiler
          Irigasi kapiler cocok dikembangkan di daerah yang memiliki topografi terjal dan memiliki sumber air relatif terbatas. Prinsip dasar dari irigasi kapiler adalah memanfaatkan air dari sumber mata air atau sungai yang disalurkan menuju bak penampungan secara gravitasi menggunakan pipa PVC, dari bak penampungan, air yang tersedia didistribusikan menggunakan selang plastik kapiler.
3) Irigasi Tetes (Drip Irigation)
          Kegunaan irigasi tetes adalah untuk memanfaatkan ketersediaan air yang sangat terbatas secara efisien yang sesuai diterapkan pada lahan kering beriklim kering dengan topografi relatif landai. Prinsip pendistribusian air pada sistem irigasi tetes adalah dengan menyalurkan air dari tangki penampungan yang ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari lahan usaha tani melalui selang irigasi.
4) Irigasi Macak-macak di Lahan Sawah
          Petani biasanya menggenangi lahan sawah secara terus menerus (continous flow) hingga ketinggian air mencapai 15 cm. Irigasi macak-macak adalah teknik pemberian air yang bertujuan membasahi lahan hingga jenuh tanpa tergenangi hingga mencapai ketinggian tertentu.
5). Irigasi Bergilir (Rotational Irrigation)
          Irigasi bergilir merupakan teknik pengairan tanaman pada luasan tertentu dan untuk periode tertentu, sehingga areal tersebut menyimpan air yang dapat digunakan hingga periode pengairan berikutnya.
6). Irigasi Berselang (Alternate Wet/Dry Irrigation)
          Sistem irigasi berselang merupakan teknik pengairan tanaman pada lahan sawah dengan volume tertentu, dan pengairan berikutnya dilakukan pada periode tertentu pula setelah genangan air surut.
Penentuan Waktu Tanam dan Kebutuhan Air Irigasi
          Penetapan waktu tanam diperlukan untuk mengantisipasi kelangkaan air bagi tanaman. Jadwal dan volume air irigasi ditetapkan berdasarkan estimasi kebutuhan air tanaman menurut metode FAD. Kebutuhan riil air tanaman dapat diketahui dari kebutuhan air pada periode defisit yang ditandai oleh nisbah evapotranspirasi aktual (ETA) dengan evapotranspirasi potensial (ETP) < 0,80.
          Apabila ETA/ETP mendekati satu berarti tanaman efektif menggunakan air dan hasilnya tinggi. Sebaliknya, apabila ETA/ETP kurang dari 0,80 berarti tanaman mengalami kekurangan air sehingga berdampak terhadap penurunan hasil (Tim Peneliti Agroklimat. 1999).

DAFTAR PUSTAKA
Amien, I., E. Runtunuwu, K. Subagyono, dan I. Las. 2006. Climate Early Warning System for Food Production in Indonesia: Current Status and Improvement for the Future. Dskusi dampak dinamika iklim terhadap ketahanan pangan dan upaya mengatasinya. Jakarta, 10 November 2006. Badan Dinas Ketahanan Pangan.
Runtunuwu, E. 2006. Assessing Global Climate Variability and Change Under Coldest and Warmest Periods at Different
Koesmaryono, Y., Rizaldi Boer, Hidayat Pawitan, Yusmin, dan Irsal Las. 1999. Pendekatan Iptek dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan EI-Nino untuk Pembangunan Pertanian. Bogor, 1 Desember 1998. PERHIMPI, FMIPA-IPB, Puslittanak, dan ICSEA BIOTROP Bogor. Bogor . Hal 43-58.
Fagi, A.M. I. Las, H. Pane, S. Abdulrachman, I. N. Widiarta, Baehaki SE, Udin S. Nugraha. 2002. Anomali Iklim dan Produksi Padi: Strategi dan Antisipasi Penanggulangan. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 39 hal.
Las, I. 2006. Pengelolaan Variabilitas Iklim untuk Mendukung Ketahanan pangan Nasional. Monograf: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Syahbuddin, H., 2007. Revitalisasi Pola Tanam Tanaman Pangan dalam Menyikapi Perubahan Iklim. Bahan Rapim Badan Litbang Deptan Oktober 2006. 12 Hal.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2004. Deskripsi Varietas Padi. Balitpa. Sukamandi. 68 hal.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2007. Deskripsi Varietas Padi. BB Padi, Sukamandi. 80 hal.
Tim Peneliti Agroklimat. 1999. Analisis Peluang Penyimpangan Iklim dan Ketersediaan Air pada Wilayah Pengembangan IP Padi 300. Laporan Hasil Penelitian. Puslit Tanah dan Agroklimat bekerja sama dengan proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 154 hal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

budidaya, kelapa sawit, produksi kelapa sawit, jenis kelapa sawit, pertumbuhan kelapa sawit, permasalahan kelapa sawit, tanaman perkebunan

metabolisme mikroorganisme, global warming, biota tanah, biologi tanah, pengaruh lingkungan terhadap biologi tanah, bioteknologi tanah