sifat kimia, sifat fisika, tanah di indonesia, entisol, ultisol, inseptisol, Ph Tanah, tanah sawah, pertanian organik,

PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tingginya produktivitas tanaman akibat penggunaan benih unggul, pupuk dan terbasminya hama penyakit tanaman adalah berkat kemampuan pestisida menempatkan manusia sebagai pemenang dalam kemampuannya menguasai alam yang sering disebut teknik pertanian konvensional. Mula-mula pupuk kimia digunakan untuk memicu pertumbuhan tanaman padi sebagai tanaman pokok, namun ternyata mempunyai efek merusak tanah, seperti misalnya struktur tanah yang secara alami remah menjadi keras. Dampak negatif dari pengaplikasian pestisida bukan hanya terjadi pada tanaman dan tanah pertanian saja, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia, dimana jenis pestisida kimia yang bersifat karsinogen atau penyebab kanker adalah pembasmi gulma yang biasa digunakan oleh petani (Andoko, 2002).
Teknik pertanian konvensional ini banyak memberikan pengaruh buruk bagi lingkungan dan manusia. Akibat kerugian teknik pertanian tersebut, manusia mulai mengambil tindakan dengan merubah teknik budidaya konvensional menjadi teknik budidaya organik. Perbedaan yang mencolok antara kedua teknik budidaya tersebut adalah terletak pada pemupukan dan pemberantasan hama penyakit.
Kedua teknik budidaya tersebut dapat dijumpai di Kabupaten Deli Serdang. Lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang oleh Bappeda (2007) pada tahun 2006 memiliki luas panen 74.236 ha dengan produksi rata-rata 5,16 ton/ha. Luas lahan sawah pada saat ini di Kabupaten Deli Serdang telah jauh mengalami pengurangan namun produksi rata-ratanya meningkat, hal ini dapat dilihat dari luas sawah pada tahun 2001 yang mencapai 145.156 ha dengan produksi rata-rata 4.45 ton. Hal ini terjadi akibat pemekaran wilayah Kab. Deli Serdang dan pengalihan fungsi lahan menjadi perumahan dan perkebunan non-padi.
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Deli Serdang adalah Entisol dan Inceptisol dengan beberapa great group, diantaranya Hydraquents, Tropaquents, Fluvaquents dan Tropaquepts. Great group ini tersebar pada beberapa kecamatan yang diantaranya adalah Kecamatan Pantai Labu, Kecamatan Beringin, Kecamatan Lubuk Pakam dan Kecamatan Pagar Merbau.
Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang merupakan Kecamatan yang terkenal akan hasil produksi pertanian organiknya meskipun belum seluruh petani di dua kecamatan ini beralih ke teknik pertanian organik. Hal inilah yang membuat penulis tertarik melakukan kajian sifat kimia tanah Inceptisol dan Entisol pada tanah sawah dengan teknik budidaya konvensional dan organik agar masyarakat dapat mengetahui dampak dari teknik budidaya yang mereka gunakan terhadap tanah dan produksi padi sawah mereka.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan kajian sifat kimia tanah Inceptisol dan Entisol pada tanah sawah dengan teknik budidaya konvensional dan organik di Kabupaten Deli Serdang, agar masyarakat dapat mengetahui dampak dari teknik budidaya yang mereka gunakan terhadap tanah dan produksi padi sawah.
Entisol
Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah Aluvial ini (Hardjowigeno, 1993).
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi  tanah  yang  berasal dari  abu  vulkan  ini  kaya  akan  hara  tetapi  belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik (Tan, 1986).
Entisol mempunyai kejenuhan basa yang bervariasi, pH dari asam, netral sampai alkalin, KTK juga bervariasi baik untuk horison A maupun C, mempunyai nisbah C/N < 20% di mana tanah yang mempunyai tekstur kasar berkadar bahan organik dan nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur lebih halus. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih rendah dan kemungkinan oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertekstur kasar juga penambahan alamiah dari sisa bahan organik kurang daripada tanah yang lebih halus. Meskipun tidak ada pencucian hara tanaman dan relatip subur, untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi biasanya membutuhkan pupuk N, P dan K (Munir, 1996).
Entisol dapat juga dibagi berdasarkan great groupnya, beberapa diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent dan Fluvaquents. Hydraquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent. Tanah ini sangat lembek, daya penyangga (bearing capacity) rendah, nilai n > 0,7 karena tanah ini selalu basah atau basah pada musim tertentu. Tropaquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent. Tanah ini dibedakan karena memiliki regim suhu tanah iso (perbedaan suhu musim panas dan dingin kurang dari 50C. Tanah ini terbentuk karena selalu basah atau basah pada musim tertentu. Fluvaquents adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo Aquent. Tanah ini selalu basah atau basah pada musim tertentu, tanah ini dibedakan karena bahan organik yang menurun tidak teratur dengan kedalaman 25 cm (sampai           kedalaman lebih dari 1,25 m dan kandungan C organik lebih dari 0,2%)                  (Hardjowigeno, 1993).
Inceptisol
Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inceptisol untuk pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah yang berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki (Hardjowigeno, 1993).
Inceptisol yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K) maupun masukan organik (pencampuran sisa panen kedalam tanah saat pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-Organik dan kapasitas tukar kation (KTK) dalam inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tampat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Munir, 1996).
Inceptisol dapat dibedakan berdasarkan great groupnya. Salah satu great group dari Inceptisol adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah great group dari ordo tanah Inceptisol dengan subordo Aquept. Aquept merupakan tanah-tanah yang sering jenuh air, (kecuali jika telah dilakukan perbaikan drainase).  Tropaquepts dibedakan karena regim suhu tanah isomesik atau lebih panas (Hardjowigeno, 1993).
Tanah Sawah
Bila tanah digenangi, persediaan oksigen menurun sampai mencapai nol dalam waktu kurang dari sehari. Reaksi reduksi akan terjadi pada tanah yang tergenang. Kuatnya proses reduksi bergantung pada jumlah bahan organik yang mudah tereput (substrat jasad renik) dan suhu tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanahnya makin besar kekuatan reduksinya. Tanpa memperhatikan pH asalnya, hampir semua jenis tanah mencapai pH 6,5 sampai 7,2 dalam 1 bulan setelah penggenangan (Sanchez, 1993).
Profil tanah sawah mempunyai lapisan oksidasi dan lapisan reduksi. Pada lapisan oksidasi ion NH4­­­­­+ tidak stabil karena ion ini mudah dioksidasi menjadi NO3+ . Oleh karena ion nitrat ini sangat mobil maka ia mudah tercuci ke lapisan reduksi. Di lapisan reduksi inilah nitrat mengalami denetrifikasi sehingga berubah menjadi gas N2.  Ion NH4+ stabil pada lapisan reduksi dan dapat dimanfaatkan oleh akar tanaman padi (Hasibuan, 2004).
Pelapukan bahan organik berjalan lambat dalam tanah tergenang ketimbang dalam tanah aerob. Pelapukan anaerob tidak memerlukan banyak energi sehingga kebutuhan akan nitrogen rendah. Akibatnya, pemineralan nitrogen tanah dapat terjadi pada nisbah C:N yang lebih tinggi pada tanah tergenang dibandingkan dengan anaerob (DeDatta and Magnaye, 1969).
Hasil akhir pereputan bahan organik pada tanah tergenang juga berbeda. Keadaan tanah yang normal dan tersalir baik hasil akhirnya terutama adalah CO2, NO3-, SO42- dan bahan menhumus yang mantap. Maka didalam tanah tanah yang tergenang hasil akhirnya adalah CO2, NH4+, metana, amina, H2S dan sisa-sisa yang terhumus sebagian. Pada tanah tergenang hasil ini dan beberapa hasil-antara lainnya direduksi lebih lanjut menjadi berbagai alkohol dan asam organik yang akhirnya direduksi menjadi CH4 atau Co2 oleh jasad renik anaerob                 (Sanchez, 1993).
Dengan penggenangan, kadar fosfor didalam larutan tanah meningkat sekali. Peningkatan ini disebabkan oleh 1) tereduksinya ferifosfat menjadi ferofosfat yang lebih mudah larut, 2) tersediannya senyawa fosfor larut-pereduksi sebagai akibat melarutnya lapisan yang sebelumnya teroksidasi, meningkatnya pemineralan fosfor organik pada tanah asam yang disebabkan karena dinaikannya pH 6 dan 7. (Sanchez, 1993).
Bahan organik dapat merubah sifat kimia tanah, yaitu melalui proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroba yang memang selalu menempel pada bahan organik. Proses dekomposisi akan melepaskan zat-zat hara ke dalam larutan di dalam tanah dan juga menjadikan bahan organik menjadi bentuk yang lebih sederhana dan bersifat kolloid. Kondisi ini akan meningkatkan kemampuan absorbsi tanah yang berkaitan juga dengan kapasitas tukar kation (KTK) tanah karena meningkatnya luas permukaan partikel tanah. Hal ini menjadikan tanah mempunyai kemampuan menyimpan unsur-unsur hara yang semakin baik, mengurangi penguapan Nitrogen, maupun pencucian hara-hara kation lain. Pada saatnya berarti pula meningkatkan kapasitas tanah untuk melepas hara kation bagi kebutuhan tanaman, baik melalui proses pertukaran secara langsung maupun pasif oleh proses difusi (Kusumanto, 2009)
Bahan organik juga mampu mengeliminir bahan-bahan racun, terutama yang dakibatkan oleh kation-kation mikro seperti Co (Cobalt), Cu (Cuprum/ tembaga), B (Boron), dan lain-lain; dengan membentuk ikatan khellat. Ikatan khellat ini bersifat preventif (dari efek meracuni) dan konservatif, karena sewaktu-waktu katio-kation logam yang terjerap dalam ikatan khelat juga masih bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Bahkan ada yang mengatakan bahwa terjadinya ikatan khelat ini justru meningkatkan mobilitas banyak kation, karena ikatan ni memang bisa larut sehingga memudahkan tanaman untuk memanfaatkannya (Kusumanto, 2009)
Teknik Budidaya
Pertanian Organik
Pertanian organik atau disebut juga pertanian biologis, pertanian ekologis diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanian dengan masukan bahan alami yang berazaskan prinsip daur ulang hara secara hayati dengan sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah demi meningkatkan kualitas kehidupan (IFOAM, 2002).
Pada pertanian non-organik, dosis pemupukan dengan pupuk kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Lain dengan penggunaan pupuk organik, dosisnya justru cenderung semakin menurun. Kecenderungan menurunnya penggunaan pupuk kandang tersebut disebabkan oleh sifat dari pupuk organik itu sendiri yang menguntungkan bagi tanah. Semua sifat menguntungkan tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah. Oleh karena itu, dapatdimengerti bahwa kebutuhan pupuknya pun makin berkurang karena struktur tanahnya sudah semakin bagus (Andoko, 2002).
IFOAM  (2002), merumuskan prinsip-prinsip pertanian organik atas empat kelompok sebagai berikut :
a.         Prinsip kesehatan, pertanian organik ditujukan untuk mempertahankan kesehatan tanah, tanaman, hewan dan manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
b.        Prinsip ekologi,  pertanian organik memperbaiki kondisi tanah sehingga menguntungkan pertumbuhan tanaman, terutama pengolahan bahan organik dan meningkatkan kehidupan biologis tanah; optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan daur hara, melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, penambahan dan daur pupuk dari luar usaha tani; membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas, udara dan air dengan cara mengelola iklim mikro, pengelolaan air dan pencegahan erosi; membatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat serangan organisme pengganggu tanaman dengan melaksanakan usaha preventif melalui pengendalian yang aman, serta memanfaatkan sumber genetika (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat sinergisme dengan cara mengkombinasikan fungsi keragaman sistem pertanaman terpadu.
c.         Prinsip keseimbangan, pertanian organik harus dibangun dalam kaitannya dengan dasar-dasar keseimbangan terhadap linkungan dan kesempatan hidup.
d.        Prinsip pemeliharaan, pertanian organik harus dikelola secara bertanggung jawab untuk mempertahankan kesehatan dan kelestarian lingkungan untuk masa kini serta bagi generasi yang akan datang.   
Pemberian bahan organik ke dalam tanah adalah membangun kesuburan tanah,  mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah ,  dan yang paling besar adalah dalam kaitannya dengan sifat fisik tanah.  Dalam pertanian konvensional penggunaan pupuk kimia (pupuk nitrogen) hanya untuk mendorong kesuburan tanaman, dan tidak menyumbang kepada perbaikan kesuburan tanah                    (Sukana, dkk, 2006). 
Bahan organik tanah tidak sama untuk setiap jenis tanah, tergantung kepada  tipe vegetasi, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah hujan, suhu dan pengelolaan tanah.  Faktor-faktor tersebut mempengaruhi macam dan jumlah bahan organik dalam tanah.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahan organik tanah itu merupakan produk dari faktor lingkungan yang seyogyanya dapat dikelola sebaik mungkin (Adiningsih,2005).
Menurut Sarkar, et al.,(2003) aplikasi pupuk organik selama sembilan tahun,  dapat meningkatkan bahan organik, kestabilan agregat, kapasitas retensi kelembaban dan kerapatan isi tanah, sedangkan aplikasi pupuk anorganik menurunkan kestabilan agregat makro dan kapasitas retensi kelembaban tetapi meningkatkan nilai kerapatan isi tanah.
Keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan pupuk organik adalah mempengaruhi sifat kimia tanah. Kapasistas tukar kation (KTK) dan ketersediaan hara meningkat dengan penggunaan bahan organik. Pupuk organik (pupuk kandang) merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya. Pada umumnya nilai pupuk yang dikandung pupuk organik terutama unsur makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) rendah, tetapi pupuk organik juga mengandung unsur mikro esesial yang lain (Sutanto, 2002).
Pada Tabel 2.1. disajikan berbagai macam sumber bahan organik, dalam kaitannya dengan bahan organik tanah yang terbentuk.
Tabel 2.1. Sumbangan Bahan Organik Tahunan Dalam Tanah Dari Berbagai           Macam Bahan Organik
Bahan Organik
Bahan Kering (kg/ha)
C (%)
Koefisien Humifikasi
Bahan Organik
Tanah (kg/ha)
A.  Pengembalian Secara Alami
1.   Akar Tanaman Padi
2.   Akar Tanaman Gandum
3.   Daun-daun Kedelai
4.   Akar Tanaman. Pupuk Hijau
5.   Bonggol Tanaman Padi

B.  Pupuk Organik
1.   Pupuk Hijau (selain akar)
2.   Azolla
3.   Jerami Padi
4.   Kotoran Babi
5.   Urine Babi
6.   Kotoran Sapi
7.   Urine Sapi

557
  82
  59
  65
452


300
  12
825
563
  96
596
  23

46
37
44
47
43


49
43
43
44
37
40
37

0,50
0,32
0,18
0,40
0,23


0,20
0,43
0,23
0,52
0,10
0,58
0,10

211
  16
   8
  21
  77


  50
   3
141
220
   6
238
   1
Sumber : IRRI, 1984
Penggunaan Bahan Organik

Kandungan Bahan Organik Tanah
Aktivitas Dan Pertumbuhan Mikroorganisme Tanah
(Karbon Dalam Bahan Organik Merupakan Sumber Energi Dan Hara Untuk Pertumbuhan Dan Aktivitas Mikroba)
Asosiasi Mikroba Nisbah B/F Penyakit Dari Tanah
Aktivitas Perkembangan Akar
Pertumbuhan 
Dan Kualitas Tanaman
Kapasitas Pertumbuhan Ion Stabilitas Pasokan Hara
Kumulatif Kesuburan Tanah
Daya Sangga
Senyawa Perangsang Pertumbuhan
Agregasi Partikel Tanah
Porositas Tanah
Udara Dan Air Permeabilitas dan Kapasitas Peningkatan Air
Apabila pengelolaan bahan organik yang sepadan dilaksanakan, maka perubahan sifat fisika, kimia dan biologi yang terjadi ditunjukkan dalam Gambar 1.  Bahan organik  yang ditambahkan ke dalam tanah akan menjadi sumber energi dan makanan untuk bermacam-macam mikroorganisme di dalam tanah.  Mikroorganisme tanah yang bermacam-macam menjadi aktif melalui rantai makanan, kemudian mengalami proses dekomposisi menghasilkan bermacam-macam senyawa organik dan anorganik.  Senyawa organik dan anorganik tersebut disemat atau diikat oleh partikel lempung yang bermuatan negatif. Senyawa-senyawa tersebut menguntungkan pertumbuhan tanaman sebagai hara dan senyawa pengatur pertumbuhan (Mizuno,1996).








Gambar 2.1. Perubahan Sifat Tanah yang Disebabkan Pengelolaan Bahan Organik
Sumber : Mizuno, (1996)

Pertanian  organik  atau  budidaya  organik  dapat  diartikan  sebagai  suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang secara hayati.          Daur ulang hara dapat melalui   sarana  limbah  pertanaman  dan  ternak,  serta  limbah  lainnya  yang  mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama. Pakar pertanian di barat menyebutnya sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik  dalam  bentuk  limbah   pertanaman  maupun  ternak  yang  selanjutnya  bertujuan memberi makanan pada tanaman (von Uexkull dan Beaton, 1991). Sistem pertanian atau budidaya organik merupakan salah satu alternatif solusi untuk membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akibat budidaya kimia            (Sutanto, 1992).
Pertanian Konvensional
Penerapan pertanian konvensional di Indonesia  dimulai sejak digulirkannya sebuah program untuk meningkatkan produktivitas pertanian dimulai dengan Padi Sentra pada tahun 1959-1962.  Kemudian dilanjutkan dengan Program Demonstrasi Massal (Demas) tahun 1963-1964  dengan Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). Program ini dimulai dengan mengenalkan “Panca Usaha Tani” yang meliputi penggunaan bibit unggul, perbaikan cara bercocok tanam, pemupukan yang baik, perbaikan pengairan, dan pengendalian hama dan penyakit.  Kemudian program ini diadopsi menjadi bimbingan Massal (Bimas) pada tahun 1964 dengan melengkapi panca usaha tani dengan memasukkan kredit untuk pertanian di dalamnya.  Program Intensifikasi Massal (Inmas) menyusul dikenalkan sejak tahun 1969, merupakan program Bimas tetapi tidak ada kredit.  Intensifikasi Khusus (Insus) sejak tahun 1980 dilakukan secara berkelompok dalam suatu kelompok hamparan.  Pada tahun 1987 Insus dilanjutkan dengan  Supra Insus yang merupakan penyempurnaan Insus dengan penggunaan zat perangsang tumbuh serta kerjasama antar kelompok hamparan (Isnaini, 2006).
Dipicu oleh kemampuan pupuk kimia meningkatkan produktivitas tanaman dan dapat mengakhiri kerawanan pangan dalam waktu relatif pendek, maka penggunaan pupuk N, P dan K mengalami kenaikan yang sangat tajam. Seperti dikemukakan oleh Wolf (1986) dalam Suhartini (2006) bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan bahan kimia.
Selama 20 tahun terakhir, terjadi  peningkatan produksi, produktivitas, dan luas panen padi terus meningkat walaupun relatif kecil. Peningkatan produktivitas padi dicapai antara lain karena pemakaian pupuk kimia dengan dosis yang semakin besar.  Misalnya, rekomendasi pemakaian pupuk urea pada tahun 1970 sebesar 100-150 kg/ha, meningkat menjadi 200-250 kg/ha,dan pada tahun 1990 menjadi 300-350 kg/ha (Mulyadi, 2000).
Pencemaran atas tanah dan air tanah yang  bersumber dari suatu kegiatan yang terencana misalnya  kegiatan pertanian,yaitu  penggunanaan pupuk, pestisida, air irigasi yang berlebih dan mengandung pupuk, akan merembes ke dalam tanah dan mencemari tanah. Sumber lain dari kegiatan peternakan dimana pencemar berupa kotoran binatang yang mengandung zat-zat organik, bakteri dan virus              (Notodarmojo, 2005).
Pada Tabel 2.2 di bawah ini terlihat bahwa laju pertumbuhan produktivitas paling tinggi terjadi pada periode tahun 1979-1983 yang kemudian menurun.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

isu global, pemanasan global, global warming, strategi mengurangi global warming, efek rumah kaca, tanaman padi, tanah sawah, CO2, CH4, N2O,

budidaya, kelapa sawit, produksi kelapa sawit, jenis kelapa sawit, pertumbuhan kelapa sawit, permasalahan kelapa sawit, tanaman perkebunan

kelapa sawit, budidaya kelapa sawit, elaeis jack, pemupukan