gambut, pengelolaan gambut untuk pertanian berkelanjutan, amelioran, dolomit, pengelolaan gambut, jenis gambut, penyebaran gambut, sejarah gambut

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA LAHAN GAMBUT

PENGGUNAAN AMELIORAN DAN PUPUK

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, miskin unsur hara, porous, dan sangat masam sehingga memerlukan penambahan pupuk dan amelioran untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi baik bagi pertumbuhan tanaman.
Amelioran
Amelioran adalah bahan yang dapat meningkatkan kesuburan melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah. Bahan amelioran yang baik bagi lahan gambut memiliki kriteria:
1) Memiliki Kejenuhan Basa (KB) tinggi;
2) Mampu meningkatkan derajat pH secara nyata;
3) Mampu memperbaiki struktur tanah;
4) Memiliki kandungan unsur hara yang banyak atau lengkap sehingga juga berfungsi sebagai pupuk;
5) Mampu mengusir senyawa beracun, terutama asam-asam organik.
Beberapa bahan amelioran yang sering digunakan di lahan gambut, antara lain: berbagai jenis kapur (dolomit, batu fosfat, kaptan), tanah mineral, lumpur, pupuk kompos/bokasi, pupuk kandang (kotoran Ayam, Sapi dan Kerbau) dan abu.
Kapur
Kapur yang diberikan ke dalam tanah gambut akan memperbaiki kondisi tanah gambut dengan cara: (1) menaikkan pH tanah; (2) mengusir senyawa- senyawa organik beracun; (3) meningkatkan KB; (4) menambah unsur Ca dan Mg; (5) menambah ketersedian hara; (6) memperbaiki kehidupan mikrooraginisme tanah termasuk yang berada dalam bintil-bintil akar (Hardjowigeno, 1996).
Kelemahan kapur sebagai bahan amelioran ialah karena kandungan unsur haranya tidak lengkap, sehingga pemberian kapur juga harus diikuti dengan pemupukan unsur lainnya seperti N, P, K dan terutama unsur-unsur mikro seperti Cu dan Zn. Kelemahan lainnya, kapur tidak memiliki atau sedikit mengandung koloid sehingga cenderung tidak membentuk kompleks jerapan, mudah tererosi, dan kurang memperbiki tekstur tanah gambut secara langsung. Kapur cenderung menggumpal jika diberikan ke tanah gambut.
Selain itu, kapur tidak dapat berfungsi baik pada tanah gambut yang kelembabannya kurang dan dalam beberapa kasus dapat mempercepat proses kondisi kering tak balik. Dengan kelemahan tersebut, penggunaan kapur perlu diimbangi dengan pemakaian amelioran lainnya terutama yang banyak mengandung koloid seperti pupuk kandang, lumpur, dan tanah liat [catatan : pemberian kapur di lahan gambut dengan saluran irigasi terkendali, memiliki residu lebih lama sehingga kebutuhan kapur lebih sedikit
Pupuk Kandang
Pupuk kandang adalah kotoran hewan ternak dalam bentuk cair atau padat.. kotoran ini dapat bercampur dengan sisa-sisa makanan dan jerami alas kandang. Proses pematangan pupuk kandang akan menghasilkan panas dan senyawa beracun yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, pupuk kandang yang digunakan harus yang sudah betul-betul jadi atau matang karena pupuk yang masih panas atau mentah akan mematikan tanaman dan juga mengandung bibit penyakit. Tanda pupuk kandang yang sudah matang adalah: berwarna kehitaman, remah, tidak lembek, dan tidak hangat.








Pupuk kandang dapat diperoleh dari kandang ternak sendiri seperti Sapi, Kerbau, Kuda, Kambing, Babi dan Ayam. Produksi pupuk masing-masing hewan tersebut tidak sama tergantung jenis dan ukuran/berat badan. Seekor Sapi dewasa, rata-rata menghasilkan 5 ton pupuk matang/tahun, Kerbau dewasa menghasilkan 10 ton/tahun, Kuda mampu memproduksi pupuk 5 - 8 ton/tahun, Kambing 0,6 - 0,9 ton/tahun, dan Babi menghasilkan pupuk 1,4 - 1,7 ton/tahun (Soediyatno dan Hadmadi, 1999).
Kompos dan Bokasi
Kompos atau bokasi merupakan hasil peruraian bahan organik yang disengaja dalam waktu yang singkat. Kompos dan bokasi diproses dengan cara yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada tipe sumber bahan organik yang akan diproses. Kompos diproses dari bahan organik yang masih segar seperti dedaunan, serasah sisa hasil tanaman (seperti jerami), dan pangkasan gulma. Sedangkan bokasi menggunakan dedaunan kering, serasah kering, sekam, dan pangkasan gulma yang sudah dikeringkan.
Kompos dan bokasi yang digunakan sebaiknya yang sudah betul-betul matang/jadi dengan tanda-tanda sebagai berikut:
1) Tidak panas dan tidak berbau;
2) Gembur dan berwarna coklat kehitaman;
3) Volume menyusut menjadi sepertiga bagian dari volume awal.
Tabel. Kandungan unsur-unsur hara pada berbagai pupuk organic (badan pengendali Bimas, Departemen Pertanian, 1977)







Lumpur
Lumpur merupakan material yang diendapkan oleh air (sungai dan laut) berupa campuran tanah aluvial dan bahan organik. Lumpur laut biasanya banyak mengandung kation-kation basa terutama Na sehingga cukup baik untuk meningkatkan pH tanah gambut.
Namun yang perlu diperhatikan dalam menggunakan lumpur laut adalah jangan menggunakan lumpur yang sudah tercemar oleh logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg) dan logam-logam berat lainnya. Logam- logam secara langsung memang tidak membahayakan tanaman, tetapi hasil produksi tanaman bila dikonsumsi dikhawatirkan akan berperngaruh terhadap kesehatan manusia.







Tanah mineral
Tanah mineral dapat digunakan sebagai bahan amelioran karena mengandung unsur perekat (liat) dan memiliki unsur-unsur hara yang lebih lengkap diantaranya Al, Fe dan Silikat (SiO2 ). Penambahan bahan mineral ke dalam tanah gambut akan memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah gambut, terutamatekstur tanahnya. Gambut yang biasanya terlalu remah akan meningkat daya kohesinya, menurun daya ikatnya terhadap air, dan meningkat daya dukungnya.
Kondisi/persyaratan tanah mineral yang baik sebagai amelioran di lahan gambut, menurut beberapa hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1). Mempunyai pH yang tinggi. Semakin tinggi pH-nya hasilnya semakin baik;
2). Mengandung banyak kation basa seperti Ca, Mg, Na, dan K sehingga mampu meningkatkan KB dan melepas senyawa-senyawa organik. Contoh tanah mineral yang banyak mengadung kation basa adalah lumpur laut/payau, lumpur sungai, dan tanah berkapur;
3). Bertekstur liat (bukan pasir) sehingga bisa sekaligus memperbaiki sifat fisik tanah.
Abu Pembakaran
Abu merupakan sisa hasil pembakaran bahan organik seperti kayu, sampah, gulma, dan sisa hasil pertanian seperti sekam dan serasah. Dalam hal ini, abu dapur juga dapat dimanfaatkan. Kelebihan abu antara lain mengandung semua unsur hara secara lengkap baik mikro maupun makro (kecuali N, pembakaran abu yang sempurna menghilangkan unsur N), memiliki pH tinggi (8,5 - 10), tidak mudah tercuci, dan mengandung kation basa seperti K, Ca, Mg, dan Na relatif tinggi. Namun demikian, dibandingkan dengan kapur kemampuannya menaikkan pH relatif rendah. Abu banyak mengandung silikat dalam bentuk tersedia sehingga berpengaruh positip terhadap produktivitas tanaman di lahan gambut (Buckman dan Brady dalam terjemahan Soegiman, 1982).
Secara tradisional, abu bersama-sama dengan bahan amelioran lain seperti pupuk kandang, sudah lama digunakan oleh petani di lahan gambut Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah terutama untuk sayur-sayuran. Dosis campuran abu dan pupuk kandang yang sering digunakan pada tahap pertama berkisar antara 20 - 25 karung/ha. Setiap kali tanam, petani hanya menambahkan sedikit campuran ke dalam lahan. Petani di Kalampangan, Kalimantan Tengah untuk keperluan penanaman seluas 2500 m2 menggunakan abu bakar sekitar 20 kg dan pupuk kandang sekitar 5 kg atau 100 kg campuran keduanya untuk lahan seluas 1 ha (Dohong, 2003).
Dosis tersebut sangat rendah dibandingkan dosis kompos yang umum diberikan pada luasan yang sama karena pemberian abu bakar tersebut hanya disebar pada larikan tanaman di atas permukaan tanah.









Abu Vulkan
Abu vulkan atau abu gunung berapi merupakan partikel-partikel halus yang terhembus pada waktu letusan gunung berapi. Ditinjau dari deposit (cadangan) dan kandungan hara yang dikandungnya (Fe, Al, Ca, Mg, Mn, S, P, K, Na, Cu, Zn, Ti dan Si), penggunanan abu vulkan sebagai bahan amelorian pada lahan gambut cukup menjanjikan (Setiadi, 1999). Namun penyuburan lahan gambut dengan abu vulkan memerlukan biaya yang sangat mahal karena sumbernya terdapat di Pulau Jawa sehingga memerlukan biaya transportasi yang besar. Dosis abu vulkan sebagai amelioran di lahan gambut sekitar 7 - 10 ton/ha. Dosis tersebut lebih rendah dibandingkan tanah mineral (sekitar 12 - 20 ton/ha).
Pupuk
Unsur hara yang diambil dari tanah dapat dibagi menjadi dua yaitu unsure hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah banyak terdiri atas C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S. Sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah sedikit, terdiri atas Fe, Mn, B, Cu, Zn, Cl, dan Co. Beberapa gejala kekurangan unsur hara makro dan mikro yang dapat diamati pada tanaman, disajikan dalam Tabel Pupuk merupakan sumber unsur hara yang dapat diberikan melalui tanah. Dengan demikian, bahan amelioran sekaligus juga merupakan pupuk karena mengandung unsur hara yang diperlukan oleh tanaman.
Tabel. fungsi dan gejala kekurangan beberapa unsur hara makro
pada tanaman















Tabel. Fungsi dan gejala kekurangan beberapa unsur hara mikro pada tanaman.


Pupuk organik berupa pupuk kandang atau kompos mempunyai kelebihan dibandingkan pupuk anorganik, antara lain:
1. Memperbaiki struktur tanah;
2. Meningkatkan pH tanah;
3. Menambah unsur-unsur hara makro maupun mikro;
4. Meningkatkan keberadaan jasad renik/organisme pengurai di dalam tanah;
5. Tidak menimbulkan polusi lingkungan.
Sedangkan kelemahannya adalah :
1. Jumlah pupuk yang diperlukan lebih banyak;
2. Respon tanaman lebih lambat;
3. Menjadi sumber hama dan penyakit bagi tanaman (kalau pemrosesan kompos dan pupuk kandang belum sempurna/masih mentah).
Pupuk anorganik atau disebut juga pupuk buatan adalah pupuk yang mengandung unsur hara tertentu dan tidak mengandung bahan organik atau mikroorganisme. Berdasarkan jenis/macam hara yang dikandungnya, pupuk tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Contoh pupuk tunggal adalah Urea, SP-36, dan KCl. Contoh pupuk majemuk adalah NPK. Pupuk anorganik mempunyai kelemahan jika dibandingkan dengan pupuk organik, antara lain:
1. Tidak dapat memperbaiki struktur tanah, bahkan cenderung merusak struktur tanah jika digunakan secara berlebihan dan/atau dalam jangka panjang;
2. Hanya mampu menambahkan unsur-unsur hara tertentu saja;
3. Tidak dapat meningkatkan keberadaan jasad renik/organisme pengurai di dalam tanah;
4. Dapat menimbulkan polusi lingkungan (pencemaran perairan/eutrofikasi) jika penggunaannya tidak tepat.
Sedangkan keuntungannya adalah :
1. Jumlah pupuk yang diperlukan lebih sedikit dibandingkan pupuk organik;
2. Respon tanaman lebih cepat;
3. Tidak menjadi sumber hama dan penyakit bagi tanaman.

PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA LAHAN GAMBUT


Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan/lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut :
a. Konversi lahan : kebakaran yang disebabkan oleh api yang beras dari kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain lain;
b. Pembakaran vegetasi : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali sehingga terjadi api lompat, misalnya : pembukaan area HTI dan Perkebunan, penyiapan lahan oleh masyarakat;
c. Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas selama pemanfaatan sumber daya alam. Pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam dan pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar, pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api akan menimbulkan kebakaran;
d. Pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut: saluran saluran ini umumnya digunakan untuk sarana transportasi kayu hasil tebangan maupun irigasi. Saluran yang tidak dilengkapi pintu kontrol air yang memadai menyebabkan lari/lepasnya air dari lapisan gambut sehingga gambut menjadi kering dan mudah terbakar;
e. Penguasaan lahan, api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan atau bahkan menjarah lahan “tidak bertuan” yang terletak di dekatnya.
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Dampak kebakaran akan menyebabkan :
- Penurunan kualitas fisik gambut. Diantaranya penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak. Dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah selain ditentukan oleh lama dan frekuensi terjadinya kebakaran, derajat kerusakan/dekomposisi yang ditimbulkan, juga akibat dari pemanasan yang terjadi di permukaan yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakar. Salah satu bentuk nyata akibat adanya pemanasan/kebakaran pada bagian permukaan adalah adanya penetrasi suhu ke bawah permukaan, hal ini akan lebih parah lagi jika apinya menembus lapisan gambut yang lebih dalam. Meningkatnya suhu permukaan sebagai akibat adanya kebakaran yang suhunya dapat mencapai lebih dari 1000°C akan berakibat pula pada meningkatnya suhu di bawah permukaan (gambut), sehingga akibatnya tidak sedikit pula gambut yang terbakar. Dengan terbakarnya gambut maka jelas akan terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik maupun kimianya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lahan milik masyarakat di desa Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Riau (Saharjo, 2003),
menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi pada gambut tipe saprik telah merusak gambut dengan ketebalan 15,44 - 23,87 cm, pada gambut tipe hemik dengan ketebalan 6,0 – 12,60 cm dan tidak ditemukan gambut terbakar pada tipe gambut fibrik.

Tabel Kriterium baku kerusakan sifat fisik gambut akibat kebakaran

- Perubahan sifat kimia gambut. Dampak kebakaran terhadap sifat kimia gambut juga ditentukan oleh tingkat dekomposisinya serta ketersediaan bahan bakar di permukaan yang akan menimbulkan dampak pemanasan maupun banyaknya abu hasil pembakaran yang kaya mineral. Perubahan yang terjadi pada sifat kimia gambut, segera setelah terjadinya kebakaran, ditandai dengan peningkatan pH, kandungan N- total, kandungan fosfor dan kandungan Basa total (Kalsium, Magnesium, Kalium, Natrium) tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik. Namun peningkatan tersebut hanya bersifat sementara karena setelah beberapa bulan paska kebakaran (biasanya sekitar 3 bulan) maka akan terjadi perubahan kembali sifat kimia gambut, yaitu : terjadi penurunan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan Basa total (Kalsium, Magnesium, Kalium, Natrium). Perubahan kualitas sifat kimia gambut setelah terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh banyaknya abu yang dihasilkan dari pembakaran, drainase, adanya gambut yang rusak, berubahnya penutupan lahan serta aktivitas mikroorganisme. Perubahan ini selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi di atasnya.
- Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran.
- Hilang/musnahnya benih-benih vegetasi alam yang sebelumnya terpendam di dalam lapisan tanah gambut, sehingga suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu atau berubah dan akhirnya menurunkan keanekaragaman hayati.
- Rusaknya siklus hidrologi seperti menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian akhirnya menyebabkan terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air di sungai serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu, kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan banjir pada musim hujan dan intrusi air laut pada musim kemarau yang semakin jauh ke darat.
- Gambut menyimpan cadangan karbon [Box 2], apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai salah satu gas rumah kaca, karbondioksida merupakan pemicu terjadinya pemanasan global. Kebakaran hutan/lahan gambut akan menghasilkan CO2 dan CO dan sisanya adalah hidrokarbon. Gas CO dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna dan sangat berperan sebagai penyumbang emisi gas-gas rumah kaca yang akan menyebabkan terjadinya pemanasan global. Disamping CO, peristiwa kebakaran hutan/lahan gambut juga menghasilkan emisi partikel yang tinggi dan membahayakan kesehatan manusia. Jumlah partikel yang dihasilkan dalam kebakaran hutan/lahan gambut akan bersatu dengan uap air di udara, sehingga terbentuklah kabut asap yang tebal dan berdampak luas. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu, namun pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton.
Faktor Pendukung Terjadinya Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut

Areal rawa gambut tergolong dalam lahan basah dimana akan mengalami genangan tiap tahunnya, meskipun demikian disaat musim kemarau akan menjadi areal kering yang rawan terjadi kebakaran. Tingkat kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi iklim, kondisi fisik serta kondisi ekonomi, sosial dan budaya.
Tabel . Luas kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997/1998 di Indonesia












Kondisi Iklim
Kondisi iklim terutama pada periode dimana curah hujannya rendah merupakan salah satu pendorong terjadinya kebakaran. Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi akan terjadi jika ditemukan adanya gejala El Nino. Gejala fenomena ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran hebat di tahun 1997/1998, dimana pada saat itu Australia dan Afrika bagian selatan mengalami kekeringan dan menyebabkan meningkatnya suhu di Asia. El Nino adalah fenomena alam yang dicirikan dengan memanasnya temperatur laut secara tidak wajar di daerah Pasifik katulistiwa. El Nino terjadi dalam interval waktu 4 atau 5 tahun sekali.
Kondisi Fisik
Kondisi fisik lahan dan hutan yang telah terdegradasi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya kebakaran. Terdegradasinya hutan dan lahan gambut dapat disebabkan oleh aktivitas illegal logging, konversi lahan dan hutan gambut untuk pemukiman, persawahan, perkebunan dan pertambangan. Selain itu, keberadaan parit/saluran yang dibuat oleh masyarakat untuk mengeluarkan kayu dari hutan juga memperparah tingkat kerusakan lahan gambut. Illegal logging telah menyebabkan hutan terbuka dan terakumulasinya limbah hasil logging yang menjadi sumber bahan bakar.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya
Areal gambut umumnya merupakan lahan rawa yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya sehingga kurang cocok bagi pertanian. Oleh karena itu, kondisi demikian memaksa masyarakat untuk mempertahankan hidupnya hanya dengan berburu satwa liar, menangkap ikan dan menebang kayu secara ilegal (illegal logging).
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Wetlands International – ndonesia Programme di Bagian Hutan Perian PT. ITCI, Kalimantan Timur pada tahun 2000 dilaporkan bahwa hutan rawa gambut memiliki manfaat ekonomi secara langsung yang cukup besar, yakni Rp 8.128.141.017 per tahun (Tabel 4). Nilai produksi terbesar berasal dari hasil perikanan (70,2%) yang digunakan untuk kepentingan komersial dan pemenuhan kebutuhan subsisten. Nilai produksi lainnya berupa kayu sebesar 27,707%.

KEBIJAKAN PENGENDALIAN KEBAKARAN
HUTAN INDONESIA

Kebijakan
Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diatur dalam UU No. 5 tahun 1990, UU No. 5 tahun 1994, UU No. 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001. Langkah-langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran kebakaran hutan dan lahan terdiri dari:
a. Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya;
b. Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB);
c. Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun perusahaan;
d. Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang ditetapkan;
e. Melakukan kerjasama teknik dengan negara-negara donor;
f. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan;
g. Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan;
h. Peningkatan upaya penegakkan hukum.

Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 pada dasarnya mengatur tentang pembagian wewenang dan tanggungjawab dalam upaya penanganan masalah kebakaran hutan dan lahan. Pelarangan melakukan kegiatan pembakaran telah tercantum dalam PP tersebut namun didalamnya belum ditemui aturan atau kebijakan khusus yang mengatur tentang kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar (“Zero burning policy”) termasuk pula penjelasan tentang definisi “zero burning” itu sendiri serta ketentuan-ketentuan dan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan “zero burning” tersebut lihat topik bahasan zero burning pada Bab 6]. Khusus di lahan gambut, karena kondisinya yang sangat rawan kebakaran sehingga apabila terjadi kebakaran akan sangat sulit ditanggulangi maka aktivitas penggunaan api dan kegiatan pembakaran seharusnya dilarang. Namun kondisi realistis di lapangan menunjukan bahwa kecil kemungkinan teknik zero burning dapat diaplikasikan khususnya pada lahan usaha pertanian kecil milik masyarakat (tradisional), untuk mengatasi hal demikian maka perlu dieksplorasi teknik- teknik pengelolaan lahan yang ramah lingkungan.

STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN GAMBUT

Pengendalian kebakaran hutan mencakup tiga komponen kegiatan yaitu :
1. Mencegah terjadinya kebakaran hutan
2. Memadamkan kebakaran hutan dengan segera sewaktu api masih kecil
3. Penggunaan api hanya untuk tujuan-tujuan tertentu dalam skala terbatas
Pencegahan
Pencegahan kebakaran hutan merupakan salah satu komponen pengendalian kebakaran hutan yang mencakup semua cara untuk mengurangi atau meminimumkan jumlah kejadian kebakaran liar. Pencegahan kebakaran hutan bukan bertujuan untuk menghilangkan semua kejadian kebakaran liar. Menghilangkan semua kejadian kebakaran hutan merupakan suatu hal yang sangat sulit dan tidak mungkin dilakukan. Banyak kejadian kebakaran yang sumber apinya tidak diketahui atau berasal dari sumber yang berada di luar jangkauan kemampuan pengendalian suatu organisasi pengendalian kebakaran hutan.
Pendekatan Sistem Informasi Kebakaran
Sistem informasi tentang kemungkinan peluang terjadinya suatu kebakaran yang terdistribusikan dengan baik ke para stakeholder terkait hingga di tingkat lapangan merupakan salah satu komponen keberhasilan tindakan pencegahan kebakaran. Secara konvensional sistem informasi ini dilakukan dengan pemantauan langsung di lapangan (lokasi rawan kebakaran), penggunaan peta dan kompas serta penggunaan kentongan di desa-desa sebagai alat untuk menginformasikan kepada warga masyarakat tentang kemungkinan terjadinya kebakaran. Saat ini, dengan bantuan teknologi modern (komputer, alat telekomunikasi, internet, penginderaan jauh (system informasi geografis)) dapat dikembangkan sistem informasi kebakaran berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran seperti kondisi bahan bakar, kondisi klimatologi dan perilaku kebakaran. Sistem informasi kebakaran ini telah dikembangkan di Kalimantan Timur melalui proyek Integrated Forest Fire Management (IFFM) dan di Sumatera Selatan melalui proyek South Sumatra Forest Fire Management Project (SSFFMP).



Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Teknis pemadaman merupakan langkah-langkah tentang bagaimana melakukan kegiatan pemadaman sesuai dengan tipe kebakaran dan mempersiapkan peralatan yang akan digunakan. Teknis pemadaman yang dapat dilakukan pada daerah hutan dan lahan gambut adalah sebagai berikut :
• Menentukan arah penjalaran api (arah penjalaran api dapat diketahui melalui pengamatan dari tempat yang lebih tinggi ataupun dengan memanjat pohon);
• Sebelum dilakukan tindakan pemadaman, maka jalur transek yang jenuh air dibuat untuk menekan laju penjalaran api (berfungsi sebagai sekat bakar buatan) yang tidak permanen;
• Untuk menghindari api loncat maka perlu dilakukan penebangan pohon mati yang masih berdiri tegak (snags). Karena ketika angin bertiup kencang, api yang telah merambat hingga ke puncak pohon mati ini bara apinya atau bahkan bagian batang yang masih membawa lidah api dapat terbang hingga mencapai lebih dari 200 meter;
• Apabila pada daerah tersebut tidak ada sumber air maka yang harus dilakukan adalah membuat sumur bor. Kalau sumber air ada tetapi cukup jauh maka suplai air dilakukan dengan estafet (menggunakan beberapa pompa air). Jika dilakukan pembuatan sumur bor, maka koordinatnya perlu dicatat sehingga memudahkan dalam menemukan kembali titik-titik sumber air ini pada waktu-waktu berikutnya jika terjadi kebakaran lagi;
• Pemadaman secara langsung sebaiknya dilakukan dari bagian ekor (belakang) atau sisi kiri dan kanan api. Jangan melakukan kegiatan pemadaman dari bagian depan (kepala api) karena akan sangat berbahaya. Tinggi nyala api (flame height) dan panjang lidah api (flame length) selalu berubah-ubah dan sukar diperkirakan arah dan laju penjalarannya; asapnya banyak dan panas, sehingga air yang disemprotkan menjadi tidak efektif (karena tidak kena langsung ke sumber api);
• Pemadaman secara tidak langsung dapat dilakukan dengan teknik pembakaran terbalik (backing fire), yaitu pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah penjalaran api yang dikombinasikan dengan pembuatan sekat bakar buatan;
• Pemadaman dilakukan dengan teknik yang benar dan terkoordinir seperti halnya dalam penggunaan peralatan pompa mesin yang berkombinasi dengan peralatan tangan;
• Pada daerah bekas terbakar terlebih dahulu dilakukan kegiatan mop-up (pembersihan sisa-sisa bara api) untuk memastikan bahwa api telah benar-benar padam dengan cara melakukan penyemprotan air pada permukaan lahan bekas terbakar, hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kebakaran ulang;
• Personil pemadam harus berjalan hati-hati dengan menggunakan bantuan papan dengan panjang sekitar 2 m agar tidak terperosok pada lubang bekas terjadinya kebakaran atau mengantisipasi kemungkinan timbulnya nyala api;
• Pemadaman pada bagian permukaan dilakukan dengan melakukan penyemprotan terhadap sumber api secara terarah (tepat sasaran) dengan menggunakan mesin pompa. Penyemprotan dilakukan secara tepat sasaran dan efektif sehingga air tersedia yang jumlahnya terbatas dapat digunakan secara optimal. Untuk mencapai sasaran tersebut lakukan kegiatan pencacahan tunggak/batang dengan menggunakan parang sehingga api benar-benar dapat dikendalikan dan padam;
• Apabila terjadi kebakaran tajuk, maka kegiatan pemadaman secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan alat-alat berat seperti pesawat, traktor, buldozer; atau dilakukan metode pemadaman tidak langsung yaitu dengan melakukan pembakaran terbalik (pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah penjalaran api). Pelaksanaan pemadaman pada kebakaran tajuk dengan alat- alat seperti ini tidak terlalu memerlukan personil yang cukup banyak dalam mengontrol jalannya kegiatan pemadaman, namun disarankan agar cara ini dihindari pada lahan gambut karena arah penyebaran apinya sangat sulit untuk diperkirakan;
• Jika terjadi kebakaran bawah (ground fire) terutama pada lahan gambut di musim kemarau maka dilakukan pemadaman dengan menggunakan stik jarum yang ujungnya berlubang. Dalam pelaksanaannya, nosel stik jarum dapat ditusukkan pada daerah sumber asap hingga bahan bakar gambut menjadi tampak seperti bubur karena jenuh air. Penusukan berulang-ulang dilakukan sampai apinya padam;
• Pemadaman api sisa yang letaknya tersembunyi sangat diperlukan mengingat api semacam ini sering tertinggal/bersembunyi di bawah tunggak atau sisa batang yang terbakar di lahan gambut. Pemadaman api sisa semacam ini dapat dilakukan dengan membongkar/menggali dengan menggunakan cangkul/garu kemudian di semprot lagi dengan air agar betul-betul apinya padam (tidak berasap lagi). Api sisa semacam ini dapat berkobar kembali jika ia bertemu dengan bahan/gambut kering di bawahnya;
• Pemantauan pada areal bekas terbakar dilakukan kurang lebih satu jam setelah pemadaman api sisa dengan tujuan untuk memastikan bahwa daerah tersebut sudah betul-betul bebas dari api.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

isu global, pemanasan global, global warming, strategi mengurangi global warming, efek rumah kaca, tanaman padi, tanah sawah, CO2, CH4, N2O,

budidaya, kelapa sawit, produksi kelapa sawit, jenis kelapa sawit, pertumbuhan kelapa sawit, permasalahan kelapa sawit, tanaman perkebunan

kelapa sawit, budidaya kelapa sawit, elaeis jack, pemupukan